Kabupaten Bekasi (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajak setiap warga masyarakat memahami perspektif tanah, mulai dari aspek kepemilikan, penguasaan, hingga pemanfaatannya demi mencegah praktik kejahatan hingga korupsi pertanahan.
"Penyatuan persepsi dan komitmen semua pihak merupakan upaya pencegahan kejahatan dan korupsi di bidang pertanahan," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melalui keterangan resmi di Bekasi, Kamis.
Dia mengatakan tanah adalah tempat berpijak dan hidup yang keberadaannya terbatas, sementara laju pertumbuhan penduduk terus bertambah sehingga kemudian menjadi sumber daya yang makin bernilai ekonomis.
"Dari situ muncul sengketa dan konflik baik perdata, administrasi, bahkan pidana. Tidak jarang kemudian juga melibatkan kerja sama aparat pemerintah sehingga menimbulkan praktik korupsi," katanya.
Berawal dari aspek kepemilikan, diliputi hukum keperdataan tentang tanah, ada dua elemen yang menjadi sumber sengketa yakni objek, meliputi keberadaan serta batas-batas tanah, dan alas hak yaitu bukti surat, kesesuaian surat dengan letak, validitas, serta kontestasi dengan alat bukti lain.
"Sebagai bagian dari benda, maka tanah diliputi asas hak kebendaan. Mengikuti bendanya, preferensi, dan seterusnya," katanya.
Kemudian aspek administrasi yaitu penerbitan surat hak yang menjadi ukuran keabsahan baik sertifikat hak milik, hak guna bangun, maupun hak guna usaha serta pakai melalui tiga perspektif administrasi.
Baca juga: Wamen ATR Raja Juli sebut Menteri Hadi langsung ratas usai dilantik
Baca juga: APHA: Akar konflik adat disebabkan ketidakpastian batas hak ulayat
Pertama, dasar kewenangan substansial atau materiil dalam hal ini apakah badan pertanahan nasional berwenang mengeluarkan surat kepemilikan hak tersebut yang secara substansi memang menjadi hak pemohon.
"Secara substansi, ini harus merujuk kepada pihak yang secara perdata dinilai sah sebagai pemilik baik berdasarkan bukti-bukti kepemilikan adat, pemanfaatan, dan penguasaan," katanya.
Perspektif berikutnya adalah pemenuhan asas legalitas atau syarat, ketentuan, serta prosedur penerbitan surat kepemilikan hak atas tanah dimaksud dan terakhir yaitu pemenuhan azas umum pemerintahan yang baik, meliputi unsur publikasi, transparansi, keadilan, serta proporsional.
Dia melanjutkan dari aspek pidana, hak atas tanah dapat menjadi tindak pidana apabila penerbitan hak dipalsukan, baik berupa surat palsu, sumpah palsu, maupun keterangan tidak benar dalam akta. Penguasaan terbukti memasuki pekarangan orang lain, serta klaim tanah aset negara dan daerah.
Perspektif pidana diukur dari pemenuhan dua unsur utama yaitu unsur objektif atau memenuhi ketentuan hukum serta unsur subjektif atau perbuatan dan akibatnya dilakukan dengan sengaja atau kelalaian sebagai bentuk kesalahan.
"Selama kesalahan tidak dilakukan dengan sengaja ataupun kelalaian yang diwajibkan kehati-hatiannya, maka kesalahan tersebut masih dalam ranah keperdataan dan administrasi. Sebaliknya jika bermotif jahat atau untuk mendapatkan keuntungan terselubung maka dapat diduga sebagai perbuatan pidana jika memenuhi ketentuan peraturan pidana," ucapnya.
Ghufron mengaku dewasa ini modus sengketa tanah makin canggih, misalnya, dengan berpura-pura bersengketa baik perdata, tata usaha Negara, maupun pidana tanpa melibatkan pemilik sah dengan tujuan mendapatkan legalisasi putusan pengadilan.
"Ini semua karena sistem pertanahan kita masih belum padu, antara putusan kamar peradilan bisa dikontradiksikan. Anehnya, setiap kamar peradilan kok ya bisa saling bertentangan putusannya," kata dia.
Pewarta: Pradita Kurniawan Syah
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022