Teman-teman di industri migas tidak usah khawatir dengan kehadiran EBT, kita masih gunakan fosil, tapi dengan teknologi bersih

Jakarta (ANTARA) - Transisi energi yang tengah gencar dilakukan di Indonesia diyakini tidak akan menggeser peran energi fosil baik minyak maupun gas bumi, bahkan sampai puluhan tahun mendatang peran migas masih sangat vital untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia, termasuk menggerakkan perekonomian nasional.

Pendapat tersebut mengemuka dalam webinar yang diselenggarakan Reforminer Institute bertajuk "Kebijakan Insentif untuk Mendukung Peran Penting Industri Hulu Migas dalam Transisi Energi dan Perekonomian Indonesia" di Jakarta, Rabu. Hadir sebagai narasumber adalah Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS Mulyanto, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya W Yudha, Sekretaris SKK Migas Taslim Z Yunus, dan Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro.

Mulyanto mengungkapkan produksi migas harus terus didorong meskipun ada anggapan migas sudah habis masanya, tapi pada kenyataannya migas berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia. Selain itu, di tengah kondisi sekarang saat harga minyak tinggi, negara juga menikmati keuntungan tersebut.

"Akhir-akhir ini dengan harga minyak naik sudah tentu hilir tertekan, hulu ini menambah suasana kondusif. Harga naik, investasi diharapkan naik, harganya naik. Dugaan ini terkonfirmasi PT Pertamina di hulu makin bagus. Bu Sri Mulyani (Menkeu) mengakui migas berikan tambahan cukup besar baik PNBP maupun pajak ke pendapatan negara," jelasnya.

DPR, menurut Mulyanto, bahkan mendorong pemerintah untuk lebih serius dalam mengejar target lifting migas sebesar satu juta barel per hari (bph) dan 12 ribu juta kaki kubik per hari (MMscfd). Salah satunya dengan menjadikan target tersebut dituangkan dalam regulasi yang jelas.

"Target satu juta bph itu jadikan peraturan presiden (perpres) atau instruksi presiden (inpres). Kalau ada itu, dorongan kuat dari sisi keuangan," ujar dia.

Sementara itu, Satya Yudha menuturkan transisi energi perlu dilakukan secara bertahap. Hal itu otomatis membuat hulu migas masih sangat diperlukan. Menurut dia, cara tepat dalam pengembangan energi fosil atau migas adalah dengan memperhatikan keseimbangan pengembangan hulu migas dengan penurunan emisi melalui penggunaan energi.

"Teman-teman di industri migas tidak usah khawatir dengan kehadiran EBT, kita masih gunakan fosil, tapi dengan teknologi bersih," ujarnya.

Dia menegaskan DEN terus mendorong perbaikan iklim investasi migas agar investor betah berinvestasi di Indonesia dengan memonetisasi dari lapangan yang ada. DEN juga mewanti-wanti agar produksi migas jangan terus turun. Karena, berdasarkan skenario yang telah disusun oleh DEN, gas menjadi backbone dalam strategi transisi energi di Indonesia.

"Migas masih jadi andalan sampai EBT siap mengambil sehingga tren migas ke depan bisa menuju energi lebih bersih," ungkap Satya.

Taslim Yunus mengungkapkan dalam outlook kebutuhan energi Indonesia menunjukkan bahwa masih ada ruang bagi industri migas untuk terus tumbuh. Apalagi pemerintah telah memberikan beberapa insentif kepada beberapa kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

"Target kami pada 2030 produksi minyak mencapai 1 juta BOPD dan gas 12 Bscfd," katanya.

Sedangkan, Komaidi Notonegoro menyatakan semua pihak sudah sepakat bahwa industri hulu migas masih sangat penting dan kini tinggal bagaimana mengelolanya secara bijaksana.

Indonesia harus belajar dari beberapa negara seperti Brazil, Australia, dan Kanada yang memberikan insentif kepada operator sehingga produksi migas di ketiga negara tersebut ikut meningkat. Hal ini pada gilirannya juga meningkatkan penerimaan negara dari sektor tersebut.

Kajian yang dilakukan Reforminer Institute memperlihatkan bahwa dari 185 sektor industri di Indonesia, sekitar 145 sektor atau 70-80 persen memiliki keterkaitan dengan sektor hulu migas.

"Indeks multiplier effect mencapai 39. Jadi, setiap investasi migas memberikan dampak 3,9 kali dalam perekonomian kita," katanya.

Menurut Komaidi, sektor hulu migas masih berperan penting bagi perekonomian nasional kendati ada transisi energi melalui pengembangan energi baru dan terbarukan. Apalagi, banyak produk derivatif yang dihasilkan dari minyak dan gas.

"Kalau mau melangkah ke transisi energi tentu banyak hal-hal detail perlu bijak dalam melihatnya," katanya.

Baca juga: RI butuh investasi Rp28.233 triliun capai transisi energi bersih 2060
Baca juga: Pemerintah dorong gas bumi sebagai jembatan transisi energi
Baca juga: Airlangga: RI butuh 25 persen PDB untuk transisi ekonomi berbasis EBT

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022