Ilustrasi (Pixabay)

faktor risiko

Terkait faktor risiko, Amelia menjelaskan orang yang berisiko mendapatkan kutil kelamin adalah mereka yang aktif secara seksual dan memiliki kebiasaan berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom, memiliki riwayat infeksi menular seksual, serta memiliki gaya hidup yang kurang sehat seperti sering mengonsumsi alkohol dan merokok.

Baca juga: Cinta Laura ajak laki-laki ikut divaksin HPV

Penyandang HIV seropositif juga memiliki resiko yang lebih tinggi tertular virus HPV.

Ia memaparkan insidensi genital warts di seluruh dunia dari tahun 2001-2012 pada perempuan adalah 120,5 kasus per 100.000 per tahun, dengan puncak usia pada perempuan adalah pada usia 24 tahun.

Di Indonesia sendiri, Kasus Infeksi Menular Seksual (IMS) yang dilaporkan oleh 12 Rumah Sakit Pendidikan mulai tahun 2007-2011 menunjukkan bahwa angka kejadian genital warts ini menduduki peringkat 3 terbesar, dengan distribusi terbanyak ditemukan pada perempuan (62,5 persen) usia 25-45 tahun.

Penularan kutil kelamin, selain dari hubungan seksual yang menyebabkan kontak langsung dengan mukosa dari penderitanya, juga bisa ditularkan dari ibu ke bayinya saat melahirkan.

Selain itu, meskipun jarang terjadi, kontak langsung maupun tidak langsung melalui benda-benda yang terkontaminasi dengan HPV (fomites) juga dapat menularkan ke orang lain.

Baca juga: Laki-laki juga perlu divaksin HPV

Orang yang sudah terinfeksi dan mengalami genital warts juga harus waspada karena sifatnya kambuhan.

Ia menambahkan, kondisi daya tahan tubuh yang sedang lemah menurun (imunosupresi) yang mendasari, infeksi berulang dari kontak seksual, atau lesi yang belum muncul (subklinis) dan tidak diketahui, bisa menyebabkan kekambuhan. Ketika prognosis (prediksi terhadap penyakit, pengobatan yang dijalankan) cukup baik pun kondisi genital warts bisa sering berulang.

“Salah satu yang penting dilakukan adalah deteksi dini genital warts. Penegakan diagnosis umumnya dapat melalui pemeriksaan klinis langsung. Beberapa pemeriksaan penunjang diantaranya adalah test asam asetat, pap smear, patologi, pemeriksaan dengan alat pembesaran optik (kolposkop), dan identifikasi genom HPV."

Namun, yang perlu sering dilakukan secara rutin yakni pemeriksaan klinis, tes asam asetat dan pap smear. Diagnosis yang tepat merupakan langkah awal sebelum pemberian terapi.

Baca juga: Jaga ketahanan tubuh cegah infeksi HPV

pengobatan

Pengobatan terhadap genital warts sebenarnya masih di seputar mengontrol lesi melalui pengolesan cairan kimia, tindakan elektrokauter (bedah listrik), cryotherapy (bedah beku), laser, serta bedah eksisi.

Pertimbangan pemberian terapi ini disesuaikan dengan luas dan derajat keparahan penyakit, lokasi, komplikasi terkait terapi, preferensi pasien, ketersediaan terapi, dan juga kondisi penyerta (komorbiditas).

“Sampai saat ini memang masih belum ada obat spesifik yang dapat mencegah penambahan jumlah (replikasi) virus sehingga pengobatan masih bertujuan untuk menghilangkan gejala klinis saja dan tidak dapat menghilangkan (mengeradikasi) virus. Ini yang menyebabkan masih sering terjadi kekambuhan. Hal ini tentu memberikan masalah psikologis dan juga finansial bagi pasien."

Maka dari itu, salah satu langkah yang bisa dilakukan oleh masyarakat khususnya perempuan adalah mencegahnya dengan vaksin HPV yang dapat diberikan setelah kutil kelamin bersih melalui terapi pengobatan, ataupun bagi mereka yang belum pernah tertular virus namun di usia produktif.


Baca juga: Ketahui gejala infeksi jamur pada "miss v"

Baca juga: Pentingnya menjaga kebersihan organ intim kewanitaan

Baca juga: Alasan muncul rasa gatal di organ intim saat haid & cara mengatasinya


Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022