Bengkulu (ANTARA News) - Sepi.... Kata itu sangat tepat untuk memberi gambaran bagaimana keadaan kawasan Kampung China di Kelurahan Malabero, Kota Bengkulu. Nama kampung itu sendiri tidak pernah dikenal resmi, masyarakat Bengkulu yang memberi nama itu sejak dulu.
Tahun Baru Imlek tidak mampu menyemarakkan kawasan di pesisir pantai barat Kota Bengkulu yang dikenal sebagai pusat niaga zaman pendudukan kolonialisme Inggris itu.
Puluhan rumah berarsitektur China dengan model rumah toko zaman dulu menjadi penanda bahwa kawasan tersebut adalah kawasan tua yang pernah berjaya sebagai kawasan dagang. Memandangi deretan bangunan kuno itu, diri seperti disedot kembali ke masa-masa kejayaan perdagangan di sana.
Lima rumah kayu yang memanjang ke belakang hingga 50 meter masih berdiri kokoh di salah satu sudut Jalan DI Panjaitan itu. Rumah-rumah tersebut umumnya memanjang ke arah belakang, bertingkat dua, dan beratap lengkung.
Keramaian kecil hanya ada di vihara, di pusat kawasan, yakni Vihara Budhayana, sebab banyak umat Budha mengikuti ibadah untuk menyambut Tahun Baru Imlek.
Mantan Sekretaris Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Darman Lie, mengatakan, Kampung China mulai sepi pada akhir 1990-an. "Nuansanya tidak semeriah dulu, karena masyarakat Tionghoa yang dulunya bermukim di Kampung China ini sudah banyak yang pindah," kata Darman.
Hanya sebagian kecil masyarakat Tionghoa Bengkulu yang masih bertahan di pemukiman tersebut, sementara yang lainnya memilih pindah ke luar kota, atau menyebar ke wilayah dagang yang lebih ramai seperti kawasan Soeprapto dan Lingkar Timur.
Pengurus Partai Amanat Nasional Kota Bengkulu ini beserta istrinya tinggal di salah satu rumah di Jalan Pendakian yang masih masuk dalam Kampung China.
Rumah tersebut masih berdiri dengan arsitektur asli yakni terbuat dari bata besar dengan perekat kapur dan lantai dua disambung dengan kayu yang masih kokoh.
Dari puluhan rumah yang sebagian dibangun pada masa kolonial Belanda itu, hanya beberapa yang masih beroperasi sebagai rumah toko.
Sebagian besar menjual suku cadang kendaraan, grosir bahan pangan dan sebagian lainnya menjual emas, khususnya di Jalan Pendakian.
"Banyak yang sudah dijual, ada juga yang sudah dijadikan rumah sarang walet lalu mereka membangun rumah di tempat lain," katanya menjelaskan.
Darman mengatakan, hingga awal 1990-an, kawasan Kampung China masih menjadi pusat perdagangan di Kota Bengkulu.
Namun, beberapa kali peristiwa kebakaran yang melahap sejumlah ruko, bahkan hingga kawasan Pasar Baru Koto, pasar pertama di Kota Bengkulu membuat penghuni kawasan itu semakin berkurang.
"Kami tidak tahu penyebab kebakaran. Beberapa kali kebakaran besar menghanguskan ratusan rumah toko yang terbuat dari kayu, bahkan kawasan Pasar Baru Koto juga dilanda kebakaran," tambahnya.
Lampion Usang
Selain deretan bangunan tua, puluhan lampion yang sudah usang dipasang di atas badan jalan sepanjang kawasan tersebut juga menjadi ciri Kampung China.
Cat merah pada lampion sudah terkelupas, dan hanya sebagian lampu lampion tersebut bersinar pada malam hari, sebagian lainnya sudah rusak.
Darman mengatakan pada masa kejayaannya, pernak-pernik Imlek dengan nuansa merah dapat ditemui di kawasan itu meski secara sembunyi-sembunyi sebab Imlek resmi sebagai hari libur Nasional sejak 1999.
"Saat itu setiap pemilik rumah menghias diri dengan pernak-penik Imlek, tapi sekarang sudah bebas merayakan Imlek tapi tidak meriah," tambahnya.
Namun, Darman nuansa Imlek akan tetap membekas di permukiman tersebut dengan keberadaan Vihara Budha-Yana.
Untuk mempertahankan identigas dan kekhasan kawasan itu Pemerintah Provinsi Bengkulu pada 2008 membangun gerbang "China Town".
Gerbang bercorak cina yang dibangun persis di depan Benteng Marlborough tersebut sekaligus menunjukkan bahwa Bengkulu seperti kota besar lainnya juga memiliki perkampungan China atau Pecinan.
Mantan Ketua PSMTI Provinsi Bengkulu Johanes Falatehan mengatakan Kampung China sebaiknya ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya sehingga rumah tua yang masih berdiri kokoh dapat dilestarikan.
"Minimal rumah-rumah itu akan menjadi bukti bahwa kawasan masyarakat berdarah Tionghoa pernah bermukim disana dan menjadi pusat niaga, meski saat ini anak-anak kami sudah tidak bisa lagi berbahasa China," katanya.
Tokoh masyarakat Bengkulu yang sudah memeluk Nasrani ini mengatakan banyak warga keturunan Tionghoa yang meninggalkan kebudayaan asli mereka karena sudah membaur dengan masyarakat setempat, terutama akibat pernikan silang.
"Salah satunya Imlek, yang merupakan budaya Tionghoa, tapi kami tidak lagi merayakan karena sejak kecil memang sudah begitu, mungkin karena sudah bercampur dengan budaya lokal," tambahnya.
Johanes mengatakan, warga Tionghoa penduduk asli Kampung China berasal dari dua daerah yakni Kabupaten Lebong dan Kabupaten Bengkulu Selatan.
Warga Tionghoa dari Kabupaten Lebong umumnya adalah pendatang dari daratan China yang bekerja sebagai buruh di pertambangan emas.
"Sedangkan dari Bengkulu Selatan biasanya pendatang yang datang untuk berdagang rempah, lalu pindah ke Kampung China sebagai eksportir kala itu," ujarnya.
Johanes sendiri yang sudah memiliki darah campuran Sunda dan Suku Rejang Bengkulu mengatakan sudah tidak mengikuti lagi tradisi Tionghoa di dalam keluarganya, terutama tiga generasi terakhir.
Meski Imlek bukan perayaan keagamaan, sebagian besar umat Budha Bengkulu tetap memanfaatkan momentum tersebut tetap dipergunakan masyarakat Budha Bengkulu untuk beribadah dan mengucap syukur atas tahun yang baru.
"Banyak umat yang beribadah untuk mengucap syukur dan menyampaikan harapan di tahun baru sehingga ibadah menjadi empat kali dalam satu hari ini," kata pengurus Vihara Budhayana Kampung China, Tan Sun Lie.
Ia mengatakan shio pada tahun ini yakni naga air diharapkan dapat menuntun kembalinya kearifan bangsa Indonesia untuk menyelesaikan berbagai persolan yang dihadapi.
Tan mengatakan, bangsa Indonesia memiliki kearifan dalam menjalani kehidupan, hanya saja akhir-akhir ini semakin tergerus. (ANT)
Oleh Helti M Sipayung
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2012