Jakarta (ANTARA News) - Timbulnya laman jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter menyisakan sedikit masalah yaitu bagaimana mengedukasi masyarakat tentang tata cara dan etika dalam mengakses laman media sosial karena banyak para pengguna laman media sosial untuk mengkritik bahkan menghina.
"Sampai sekarang masih sulit mengatur etika di media sosial. Dewan Pers sendiri masih menggodok peraturan tentang media online," kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) Eko Maryadi di sela-sela seminar "Seminar Kebebasan Pers 2012" di Jakarta pada Sabtu (21/1).
Namun sebagian pengguna media sosial tidak menyadari bahwa media sosial adalah ranah publik yang mana setiap orang bisa mengaksesnya. Segar diingatan kita bagaimana kasus Prita Mulyasari yang mengkritisi pelayanan RS. Omni Internasional dalam blog pribadinya.
Meskipun demikian, Eko mengatakan Jurnalisme dan etika seperti dua sisi uang koin yang tidak bisa dilepaskan.
Oleh karena itu, wartawan harus memberi contoh kepada masyarakat bagaimana menuliskan berita yang mematuhi etika dan kode etik jurnalistik. Setelah itu, masyarakat akan melihat dan mengikuti langkah itu ketika berselancar di media sosial.
"Wartawan harus terlebih dahulu mematuhi etika dan kode etik yang berlaku. Sebelum, mengedukasi masyarakat," katanya.
Eko mengatakan media sosial adalah sarana yang bagus untuk menyebarkan berita, pendidikan dan isu-isu lainnya karena media sosial bersifat inspiratif dan dekat dengan masyarkat sedangkan wartawan bergerak dalam media mainstream seperti koran, majalah dan online. "Lewat status FB, masyarakat bisa ikut tercerdaskan," katanya.
"Kekuatan media sosial begitu besar lihatlah apa yang terjadi dengan konflik di negara Timur Tengah. Ketika media nasional mereka dilarang, banyak masyarakat yang menggunakan media sosial untuk menyalurkan aspirasi," demikian Eko Maryadi. (adm)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2012