Jakarta (ANTARA News) - Sikap politik Ketua DPR, Agung Laksono, yang memberikan saran tertulis kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, agar tidak usah datang ke DPR untuk memberikan jawaban atas hak interpelasi soal busung lapar dan polio, diprotes keras oleh Ramson Siagian dan Panda Nababan dari F-PDIP, serta Ali Mochtar Ngabalin dari F-BPD dalam sidang paripurna DPR, di Jakarta, Selasa.
"Sikap Agung Laksono berbahaya, karena meminta Presiden dapat mewakilkan menterinya itu sama sekali bukan bagian dari keputusan DPR untuk dibahas dalam rapat paripurna," kata Ramson Siagian.
Agung Laksono sebagai ketua DPR, menurut dia, harus paham bahwa keputusan Rapat Paripurna DPR hanya menyetujui hak interpelasi atas masalah busung lapar dan wabah polio. Dan, ia menegaskan, interpelasi itu sudah menjadi hak DPR, bukan atas nama pengusul yang berjumlah 39 orang.
"Jadi, sikap Agung berbahaya, karena telah merendahkan martabat dan kehormatan DPR, sekaligus meremehkan Presiden. Karena, kesannya, seolah-olah Presiden takut kepada DPR," katanya.
Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) DPR itu mengatakan, di negara-negara demokratis, Presiden atau Perdana Menteri biasa langsung berhadapan dengan parlemen di sidang paripurna.
Mestinya, menurut Ramson, Agung Laksono harus tahu, sesuai pasal 27 ayat 1 huruf c dan d Tata Tertib DPR, Ketua DPR hanya menjadi juru bicara DPR, serta melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR.
Kalau tidak ada dalam keputusan DPR, dinilainya, ketua dewan tidak perlu menambah-nambahi. "Kalau memang Agung mau mencari muka, boleh-boleh saja, tapi harus dengan cara yang elegan," tuturnya.
Agung sebagai Ketua DPR, dinilainya, semestinya adalah politisi yang bermartabat dan memahami mekanisme. Kalau tidak, itu sangat memalukan, tukasnya.
Sesuai amanat pasal 20A UUD 1945, kata Ramson, untuk hal-hal yang khusus dan strategis memerlukan penjelasan langsung dari Presiden sebagaimana diatur dalam ayat 2 (penggunaan hak interpelasi). Sementara itu, kalau jawaban itu diserahkan kepada menteri, mekanismenya melalui rapat-kerja, sesuai ayat 1 pasal 20A UUD 1945 tentang fungsi pengawasan DPR.
Ali Mochtar Ngabalin dalam kesempatan itu memprotes dua hal, yakni keberatan terhadap surat katabelece politik Agung dan menyesalkan ketidakhadiran Presiden dalam sidang paripurna DPR.
Ia mendesak, agar surat Agung Laksono kepada Presiden Yudhoyono, agar tidak usah datang ke DPR untuk memberikan jawaban atas hak interpelasi tersebut, dibicarakan dulu dan meminta Agung menjelaskan tindakannya itu.
"Kita sesalkan, kenapa Agung tak berani datang ke rapat paripurna. Mana Agung bawa kemari. Dia harus mempertanggungjawabkan kepada kita semua," katanya.
Ali Mochtar, yang selalu bersorban, menyatakan bahwa akan mengirim surat protes kepada Pimpinan DPR. "Kalau begini caranya, tak ada salahnya kalau posisi Agung sebagai Ketua DPR
dikocok ulang," ucapnya.
Menanggapi protes-protes yang muncul, Wakil Ketua DPR Zaenal Maarif menjelaskan, surat Ketua DPR Agung Laksono sudah sesuai Tata Tertib DPR.
Ia hanya mengulas isi Tata Tertib Dewan, jadi tidak ada masalah, tuturnya.
Namun, penjelasan Zaenal Maarif, langsung mendapat protes keras dari Wakil Ketua F-PDIP Panda Nababan.
"Jangan menyederhanakan surat ini. Surat Agung ini serius. Oleh karena itu, harus kita
clear-kan. Ini soal martabat. Bunyi surat Agung itu konyol. Maka itu, bilamana perlu, rapat ini kita skors," demikian Panda Nababan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006