Denpasar (ANTARA News) - Pohon tebu yang dikombinasi sedemikian rupa dengan rangkaian janur (Penjor tebu) menghiasi setiap pintu masuk pekarangan rumah warga keturunan Tionghoa dalam menyambut Tahun Baru Imlek 2563 di Pulau Dewata.
Nuansa religius itu hampir mirip saat umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan yang merupakan Hari Kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan) yang dirayakan setiap 210 hari sekali.
Penjor rangkaian janur pada sebatang bambu khas Pulau Dewata juga dipasang pada pintu masuk rumah tangga umat Hindu saat merayakan Galungan, bedanya dalam menyambut tahun baru Imlek kali ini bambu diganti dengan tebu.
"Hal itu mencerminkan terjadinya pembauran dan toleransi kehidupan beragama yang semakin kokoh, hidup harmonis, berdampingan satu sama lainnya tanpa pernah terjadi konflik," tutur Penanggungjawab Vihara Dharmayana Kuta, Hindra Suarlin.
Salah seorang tokoh perwalian umat Budha di Bali itu menjelaskan, kerukunan hidup yang didasarkan atas kesadaran dan saling pengertian menghormati satu sama lain telah diwarisi secara turun temurun sejak 500 tahun yang silam.
Atas dasar itu pula Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Provinsi Bali sebelumnya pernah mengangkat upaya memperkokoh semangat "Menyama Braya" atau kebersamaan dalam persaudaraan sebagai tema perayaan tahun baru Imlek.
Tema tersebut diharapkan mampu membangkitkan dan menjaga semangat kebersamaan dan tercipta kerukunan yang abadi, seperti halnya kerukunan antaretnis Tionghoa dengan masyarakat Bali dan etnis lainnya di Nusantara yang telah terjalin sejak lima abad yang silam.
Dengan demikian perayaan Imlek kali ini mengandung makna harapan yang lebih baik dalam menyongsong masa depan bangsa dan negara yang lebih cerah, dalam menghadapi persaingan ekonomi yang semakin ketat.
"Tahun Naga Air pada perayaan Imlek kali ini menuntut semua pihak untuk bekerja lebih serius sesuai bidang dan profesinya masing-masing sehingga mampu mewujudkan naga emas, yakni kehidupan yang lebih sejahtera," harap Hindra Suarlin yang mengayomi sekitar 300 keluarga keturunan Tionghoa.
Bali yang memiliki luas wilayah 5.634,4 kilometer persegi dihuni oleh penduduk yang berasal dari 30 etnis di Nusantara serta warga asing yang berasal dari sejumlah negara di belahan dunia.
Keragaman etnis dan warna kulit tersebut dikelola dan dijaga dengan baik dengan harapan seluruh warga tetap dapat hidup harmonis berdampingan satu sama lainnya sesuai harapan Gubernur Bali Made Mangku Pastika.
Harmoni keragaman tersebut disinergikan untuk menjadikan Bali aman damai dan sejahtera ( Bali Mandara) yang lebih dikenal masyarakat setempat dengan istilah "Ngardi Bali Shanti Lan Jagadhita", yakni tetap terpeliharanya Bali yang damai, aman dan tentram.
Masyarakat Bali maupun etnis Tionghoa dan etnis dari berbagai daerah di Nusantara yang bermukim di Pulau Dewata, semakin menyadari bahwa kemajemukan yang beragam dapat dikombinasikan dengan nilai-nilai positif sehingga menjadi satu hal yang indah, unik dan menarik.
Kemajemukan tersebut sangat dihormati dan dihargai satu sama lain untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia, dengan harapan muncul satu kekuatan yang mampu mengantarkan bangsa Indonesia mencapai tujuan yang disepakati bersama, bukan sebaliknya menimbulkan gejolak, harap Hindra Suarlin, mantan Ketua Walubi Bali.
Nuansa Imlek
Selain kalangan rumah tangga, vihara, kelenteng dan kuil dihias bernuansa Imlek, Kalangan hotel dan pusat-pusat perbelajaan di Bali, sejak pekan lalu telah mempersiapkan diri menata lingkungannya masing-masing agar mencerminkan Hari Raya Imlek.
Lobi hotel dan pusat perbelanjaan ditata sedemikian rupa dengan hiasan aneka warna yang serasi dengan aneka warna lampu pada malam hari.
Prosesi barongsai dan naga yang dikemas dalam atraksi unik dan menarik mengawali perayaan Tahun Baru Imlek 2563 di kawasan wisata Kuta dan sekitarnya pada Minggu petang (22/1), sehari menjelang Imlek.
Prosesi berjalan mengelilingi Vihara Dharmayana dan jalan-jalan protokol di kawasan Kuta dan sekitarnya melibatkan empat barongsai dan dua naga dari puluhan koleksi barng dan naga yang dimiliki. Hindra Suarlin.
Pergelaran barongsai dan naga "ngelawang" berlangsung sekitar dua jam, 17.00-19.00 Wita dan diupayakan sedapat mungkin tidak mengganggu lalu lintas yang kondisinya selama ini sangat padat.
"Ngelawang" yang akan dimulai sore hari ini sudah dikoordinasikan dengan pihak kepolisian setempat dan "pecalang" petugas keamanan desa adat Kuta untuk membantu kelancarannya, mengingat arus lalu lintas di kawasan Kuta sangat padat.
Prosesi "Ngelawang" menurut Hindra Suarlin, bermakna menetralisir alam semesta dan upaya itu dilakukan secara berkesinambungan setiap mengawali tahun baru Imlek.
Umat Budha, khususnya keturunan Tionghoa di Bali pada Hari Raya Suci Imlek melakukan persembahyangan di rumah mereka masing-masing, kemudian dilanjutkan ke Vihara dan Kelenteng.
Persembahyangan dilakukan sesuai tradisi yang diwarisi secara turun temurun. Penyalaan lilin, hiasan lampu (lampion), serta persembahan hidangan buah-buahan dan berbagai macam kue menjadi ciri khas perayaan Imlek pada setiap Vihara dan Kelenteng di Bali.
Persembahyangan berlangsung seperti hari-hari biasa, namun kali ini agak istimewa, karena disertai dengan pemberian makanan khas kepada mereka yang dinilai berjasa dalam mengembangkan usaha maupun kehidupan pribadi.
Hari Raya Imlek kental dengan nuansa kehangatan, yang berawal dari tradisi pergantian musim gugur ke musim semi di dataran Tionghoa.
"Namun tradisi itu tetap diwarisi secara turun temurun yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Perayaan di sejumlah Vihara di Bali juga dimeriahkan dengan pegelaran barongsai, kesenian khas China," ujar Hindra Suarlin. (ANT)
Oleh I Ketut Sutika
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2012