Jakarta (ANTARA News) - Klenteng tidak saja menjadi tempat ibadah bagi masyarakat keturunan Tiongha untuk berdoa, namun di tempat itu masa depan pun dapat diketahui melalui tradisi yang dinamakan Tjiam Si.
Tjiam Si merupakan salah satu ritual yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Tionghoa untuk mendapatkan hidayah atas persoalan yang sedang dihadapi.
Mereka mempercayai bahwa Tjiam Si dapat menuntun mereka menuju kebahagiaan dan keberuntungan yang lebih baik.
Biasanya menjelang perayaan Tahun Baru Imlek atau Sin Cia, sejumlah klenteng di Jakarta ramai dikunjungi oleh umat keturunan Tionghoa
Di Vihara Dharma Bhakti, atau dikenal dengan sebutan Klenteng Petak Sembilan, yang terletak di kawasan Glodok Pancoran, Jakarta Barat, terlihat keramaian.
Beberapa hari mejelang perayaaan Imlek, banyak umat yang datang ke klenteng tersebut untuk memohon kepada para dewa agar mendapatkan peruntungan rejeki, kesehatan, pekerjaan, hingga jodoh di tahun yang akan datang.
Seperti yang dilakukan Adi (25), karyawan swasta, yang ingin mengetahui peruntungan pekerjaan yang akan dijalaninya di tahun mendatang.
"Saya sedang dalam proses pindah kerja, jadi saya datang ke sini untuk memohon agar pekerjaan baru nanti mendatangkan banyak rejeki," kata pria yang bekerja di perusahaan otomotif tersebut.
Adi mengaku dia datang ke klenteng dan melakukan Tjiam Si hanya jika sedang dalam kondisi mendesak. Namun, menjelang Imlek memang sudah mejadi tradisi di keluarganya untuk melakukan Tjiam Si.
Selain Adi, ada juga umat yang datang untuk mengetahui peruntungan usaha dan bisnis yang akan dimulai.
Vivi (35) mengatakan dia melakukan Tjiam Si karena ingin mengetahui apakah bisnis yang akan dimulainya dapat berjalan lancar atau tidak.
"Saya sudah lebih dari 10 tahun bekerja kantoran, dan kini saya berencana untuk mengundurkan diri dan memulai bisnis," kata Vivi, yang melakukan Tjiam Si di Vihara Dharma Jaya atau Klenteng Toa Se Bio, sekitar 50 meter dari Klenteng Petak Sembilan.
Cara Tjiam Si
Tjiam Si biasanya dilakukan di depan patung Dewi Kwam Im, yang dianggap sebagai sumber belas kasihan bagi umat manusia.
Umat yang ingin mendapatkan petunjuk dari Dewi Kwam Im, sebelumnya membakar hio dan berdoa ke masing-masing dewa yang terdapat di dalam klenteng.
Selanjutnya, umat mengucapkan doa permohonan di dalam hati di hadapan patung Dewi Kwam Im.
Selesai mengucapkan doa, umat mengocok tabung yang berisi 100 batang kayu cendana atau bambu tipis dengan lebar satu cm. Kayu-kayu tersebut telah berisi jawaban atas permohonan yang diucapkan oleh umat.
Tabung tersebut dikocok hingga satu batang kayunya jatuh. Jika terdapat lebih dari satu batang yang terjatuh, maka umat harus mengulang.
Setelah itu, umat lalu melemparkan dua keping kayu berbentuk setengah lingkaran hingga jatuh ke tanah.
Akan ada tiga peluang yang terjadi setelah sepasang keping kayu itu dilemparkan, yaitu keduanya terbuka, keduanya tertutup, serta satu keping terbuka sementara keping lain tertutup.
Jika peluang pertama yang terjadi, hal itu menandakan bahwa Dewi Kwam Im marah.
Sementara jika kemungkinan kedua yang terjadi, maka artinya Dewi Kwam Im sedang menertawakan permohonan yang diajukan.
Oleh karena itu, umat harus melemparkan sepasang keping kayu itu hingga terjadi kemungkinan yang ketiga, yang berarti Dewi Kwam Im mengabulkan permohonan tersebut.
Setelah melempar kayu, umat lalu membawa sebilah kayu, yang selesai dikocok tadi, ke salah seorang penasehat yang ada di dalam klenteng. Penasehat itu akan membantu mencari arti tulisan yang tertera di kayu tersebut.
Meskipun lekat dengan perayaan Imlek, tradisi Tjiam Si sesungguhnya tidak hanya dilakukan pada saat Imlek saja, seperti dikatakan oleh pengurus harian Klenteng Toa Se Bio, Hartanto Wijaya.
"Sebenarnya Tjiam Si bisa dilakukan kapan saja ketika kita sedang membutuhkan pencerahan. Hanya saja, biasanya saat Imlek masyarakat ingin mendapat keberuntungan yang lebih di tahun baru," jelas pria keturunan Tionghoa itu.
Biasanya, pada tengah malam menjelang tahun baru Imlek, para pengurus klenteng akan melakukan Tjiam Si untuk kepentingan masyarakat luas.
Baru kemudian, sebagian masyarakat melakukan Tjiam Si untuk mengetahui peruntungan kehidupan pribadi mereka.
"Pukul 24.00 dini hari, tepat pada malam tahun baru, beberapa pengurus melakukan Tjiam Si lalu mencatat hasil peruntungan tersebut untuk dijadikan pedoman selama satu tahun," kata Ayyau, salah satu pengurus Klenteng Petak Sembilan.
Menurut sejarah, tradisi Tjiam Si dilakukan oleh nenek moyang di negeri China untuk memohon kepada para dewa agar mendapat keberuntungan dan dijauhkan dari malapetaka.
Namun, semakin lama semakin banyak orang yang ingin mencoba peruntungannya. Sehingga, dibuatlah syair-syair yang mejadi jawaban atas permohonan umat.
Tjiam Si kini tidak hanya menjadi tradisi bagi masyarakat Tionghoa, tapi juga warga yang bukan keturunan. Bahkan, Tjiam Si di beberapa daerah sudah menjadi obyek wisata yang menarik minat turis lokal dan mancanegara. (F013/A025)
Oleh Fransiska Ninditya
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2012