Jakarta (ANTARA) - Tak dapat dipungkiri lagi, dunia tengah berhadapan dengan ancaman krisis pangan global, tidak saja akibat laju pertumbuhan penduduk dunia tidak sebanding dengan produksi pangan dunia, tapi juga akibat terganggunya pasokan pangan.

Perubahan iklim yang nyata membuat semakin banyak siklon dan hujan di atas normal yang menyebabkan banyak areal pertanian tergenang banjir dan menurunkan produksi pangan dunia.

Selain itu terkonsentrasinya produk pangan pokok, seperti gandum, sorgun, beras dan jagung, pada sejumlah negara membuat negara lain sangat bergantung dan menjadi krisis jika tata niaga terganggu, seperti munculnya konflik antarnegara, termasuk konflik Rusia dan Ukraina.

Presiden Jokowi dalam sambutannya saat menghadiri Perayaan 50 Tahun HIPMI Tahun 2022, Jumat (10/6) di Plenary Hall, Jakarta Convention Centre, Jakarta, mengingatkan ancaman ketahanan pangan.


Menurut Jokowi, yang berkaitan dengan pangan itu hati-hati ke depan. Karena diperkirakan hari ini ada kira-kira 13 juta orang yang sudah mulai kelaparan di beberapa negara, karena urusan pangan.

Jokowi mengungkapkan, sejumlah negara sudah mulai membatasi ekspor pangan, sehingga kemandirian pangan menjadi hal yang sangat penting bagi Indonesia. Apalagi saat ini 22 negara pengekspor pangan sudah mulai menyetop ekspornya untuk cadangan pangan mereka.

Bagaimana ketahanan pangan Indonesia? Di awal Pemerintahan Presiden Jokowi Tahun 2014 program swasembada akan mendapat prioritas utama, yaitu swasembada padi, kedele dan jagung. Bahkan terlalu fantastis menargetkan swasembada ketiga dicapai dalam tiga tahun.

Kebijakan pangan di era Jokowi-Jusuf Kalla sudah tertuang dalam Nawacita menjadi landasan program kerja pemerintah, yaitu mencapai swasembada pangan dalam rangka ketahanan pangan nasional.


Pemerintah saat itu bahkan mentargetkan, Tahun 2016 swasembada padi, Tahun 2017 swasembada jagung, Tahun 2019 swasembada gula konsumsi, Tahun 2020 swasembada kedelai.

Namun harapan Presiden itu jauh panggang dari api, karena banyak kendala yang membuat upaya itu tak membuahkan hasil.

Padi merupakan makanan pokok penduduk Indonesia yang pernah swasembada di era Soeharto Tahun 1984, dengan memproduksi beras sebanyak 25,8 juta ton. Hasilnya Indonesia mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada Tahun 1985.

Namun pertumbuhan penduduk yang meningkat tidak sebanding dengan pencetakan sawah dan irigasi baru, akhirnya swasembada makin sulit tercapai.


Rata-rata penguasaan lahan petani padi yang kecil atau di bawah setengah hektare membuat usaha padi kurang efisien dan hanya sebagian kecil yang benar-benar digarap dengan serius.

Pencetakan sawah baru juga tidak diiringi dengan irigasi yang memadai dengan produktivitas lahan rendah atau hanya bisa satu kali tanam dalam setahun.

Akibat itu semua, produksi beras secara nasional walaupun ada kenaikan, tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Indonesia masih terus mengimpor beras sebagai stok nasional.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor beras masih terjadi dalam tiga tahun terakhir. Pada 2018 Indonesia mengimpor beras 2.253.824,5 ton, Tahun 2019 impor menurun hanya 444.508,8 ton dan Tahun 2020 impor turun lagi 356.286 ton beras.

Tahun 2021 volume impor beras naik lagi 14 persen lebih mencapai 407,74 ribu ton.

Ke depan perlu terus dikembangkan budi daya padi skala luas dengan melibatkan swasta melalui rice estate sebagai lumbung pangan nasional di luar Pulau Jawa.

Sejumlah daerah juga berlomba untuk mampu berswasembada padi dengan terus mencetak sawah baru. Keberadaan bendungan baru harus dimanfaatkan daerah dengan pembangunan irigasi sampai tersier dan mengawal produktivitas sawah melalui penyuluh yang tangguh.


Bagaimana dengan kedelai? Dari ketiga makanan pokok tersebut, swasembada kedelai adalah yang tersulit dari sisi besarnya ketergantungan impor dan soal harga jual kedelai yang belum menggiurkan petani.

Berbeda dengan padi yang punya harga dasar dan dijamin ditampung Bulog, maka nasib harga kedelai belum bagus. Petani tak mau rugi, sehingga kedelai masih belum menjadi prioritas, apalagi hanya ditanam saat musim gadu atau sebagai tanaman sela.

Indonesia pernah mencatat produksi kedelai tertinggi, yaitu mencapai 1,87 juta ton pada 1991 sampai 1992, namun kemudian terus menurun, padahal kebutuhan kedelai, khususnya untuk tahu dan tempe terus meningkat.

Produksi kedelai saat ini hanya sekitar 10 persen kebutuhan nasional, sehingga ketika harga impor kedelai naik, otomatis harga dalam negeri juga melonjak.

Jagung sempat membanggakan

Produksi jagung sempat dipuji Presiden Joko Widodo saat membuka Pekan Nasional Tani dan Nelayan (Penas KTNA) di Banda Aceh, 6 Mei 2017.


Saat itu Jokowi mengapresiasi kinerja petani di seluruh Indonesia yang mendukung peningkatan produksi jagung, sehingga Indonesia dapat menekan ketergantungan pada jagung impor 3,6 juta ton pada 2015 menjadi 900.000 ton pada 2016 setelah Pemerintah RI memutuskan harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp3.150 per kg.

Menteri Pertanian, saat itu Amran Sulaeman, bahkan meyakini produksi jagung Indonesia sudah bisa surplus sesegera mungkin atau di 2018. Faktanya impor jagung terus terjadi dan di Tahun 2020 sampai 2021, peternak ayam menjerit karena harga jagung melonjak tinggi, sementara harga daging ayam dan telur tidak bisa naik terlalu tinggi.

Sepanjang setahun terakhir, harga telur dan daging ayam ras bisa fluktuatif setiap hari karena jagung dan bungkil kedelai yang merupakan bahan utama pakan juga naik turun.


Petani jagung juga masih mengalami gonjang ganjing harga jual walaupun ada harga patokan jagung pipil. Inilah yang membuat petani berpikir dua kali untuk menanam jagung.


Insentif dan harga dasar

Petani mempunyai prinsip ekonomi yang kuat untuk memilih komoditas yang tepat. Yang pertama menjadi pertimbangan adalah jaminan harga jual dan kemudahan menjual hasil panen. Jika harga jual di bawah biaya pokok produksi, maka petani akan memilih aman untuk bertanam padi.
Selama harga jagung dan kedelai saat panen belum pasti, termasuk penampungnya, maka lebih baik kembali tanam padi, walaupun secara teori menanam padi tiga kali justru akan memperpanjang siklus hama padi.
Sudah saatnya ada BUMN yang bergerak untuk menjamin pembelian jagung dan kedelai karena dua komoditi itu pasti mempunyai pasar kuat di dalam negeri.

Kalau dikembalikan ke Bulog untuk menyerap semua kedelai petani akan lebih baik, sehingga seperti dulu jalinan Bulog dan Koperasi Tahu Tempe menjadi mitra saling menguntungkan.


Setelah itu baru dirancang luasan lahan kedelai setiap kabupaten dengan insentif khusus, seperti benih unggul, pupuk dan pestisida.

Lebih baik dirancang pembukaan lahan baru khusus kedelai yang tidak banyak membutuhkan irigasi teknis. Dalam satuan lahan yang lebih luas, sehingga memungkinkan penggunaan mekanisasi pertanian dan pengendalian hama terpadu.
Saat ini lonjakan harga kedelai dunia yang membuat harga kedelai di dalam negeri melonjak sampai Rp11.800 per kilogram seharusnya menjadi peluang untuk merangsang petani menanam kedelai. Rata-rata biaya produksi kedelai lokal mencapai Rp7.000 per kilogram, sehingga masih ada marjin yang cukup bagi swasta untuk terjun.

Jagung paling mungkin

Dari tiga komoditi itu, jagung sebenarnya paling mungkin bisa swasembada karena teknologi budi daya relatif mudah, tidak membutuhkan banyak air dan harga jual yang diproyeksikan terus naik.


Harga normal jagung adalah kisaran Rp 4.000-4.500 per kg, sementara saat ini bisa mencapai Rp 6.000 per kg, bahkan lebih mahal di beberapa daerah. Ini peluang bagi daerah yang mempunyai lahan tidur cukup luas.

Ini seperti mengikuti harga jagung dunia dimana pada Rabu (20/4/2022) harga jagung dunia tercatat 8 dolar AS per gantang (25,4 kg) atau Rp4.560 per kilogram. Ini rekor tertinggi sejak September 2012.

Khusus di Indonesia justru ada anomali karena saat panen jagung pada Maret-April 2022 ini harga di tingkat petani di kisaran Rp4.000 per kilogram, sementara di pasaran dalam partai besar masih Rp6.000 per kilogram, dan harga eceran yang dibeli peternak kecil sekitar Rp7.500 per kilogram.

Ini sebenarnya menjadi peluang Bulog untuk menyerap jagung petani di harga dasar Rp4.150 per kilogram dan bisa menjual kepada peternak dengan marjin yang wajar di kisaran Rp5.500 per kilogram.

Selama ini yang bermain adalah para pedagang besar yang mampu menimbun jagung dan membiarkan suplai di pasaran terbatas.


Buktinya, dari data Kementan, produksi bulanan jagung pada Maret-April 2022 sekitar 2,5 juta ton, sementara volume konsumsi jagung di dalam negeri paling banyak 1,5 juta ton. Artinya surplus cukup besar saat panen raya, tetapi suplai tetap tersendat dan petani tetap dengan harga jual yang rendah.

Jagung sebenarnya berpeluang besar untuk swasembada jika harga dasar jagung naik di atas Rp4.500 per kilogram. Tanpa perlu kampanye lagi, petani akan berlomba memproduksi jagung.


Salah satu penyebabnya produktivitas jagung di Indonesia masih rendah, yaitu rata-rata sekitar 5,5 ton per hektare, padahal dengan pola intensifikasi jagung bisa mencapai 9 ton per hektare.

Ini merupakan tugas penyuluh pertanian untuk memotivasi petani menggunakan pola intensifikasi jagung, yaitu penggunaan benih unggul, pemupukan berimbang dan pengendalian hama terpadu.

Kedua, perlu didorong swasta untuk menggarap lahan-lahan tidur yang berskala luas dengan insentif keringanan pajak dan jaminan serapan pasar yang baik. Dengan skala luas, maka efisiensi akan tercapai, apalagi dengan modernisasi penggarapan lahan dan mesin panen.


Peternakan ayam ras saat ini sudah ada merata di setiap kabupaten sehingga tidak perlu khawatir untuk memasarkan sebagai bahan baku pakan ternak. Hanya perlu jalinan kemitraan dengan peternak lokal atau pabrik pakan di sekitar areal jagung.

Swasembada bukan hanya tugas Pemerintah pusat, tetapi juga tugas pemerintah daerah untuk berinovasi meningkatkan produksi padi, jagung dan kedelai. Kenaikan harga komoditi pangan dunia harusnya terus memacu daerah untuk meningkatkan produksi pertanian sekaligus menjadi prestise daerah.

Copyright © ANTARA 2022