Ambon (ANTARA News) - Indonesianis, Sidney Jones, menilai tingkat kekerasan yang terjadi selama di lokasi konflik sosial di Maluku tergolong yang tertinggi di Indonesia.
"Tindak kekerasan di Maluku selama konflik 1999 maupun yang terakhir pada 11 September 2011, malah jauh lebih tinggi jika dibanding yang terjadi di provinsi Papua maupun daerah lainnya," katanya di Ambon, Kamis petang.
Ia mengemukakan hal itu saat menjadi pembicara kunci pada dialog "Provokasi Perdamaian - Refleksi Perdamaian Maluku" yang digelar Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM) Ambon.
Menurut dia kekerasan yang terjadi di Maluku tidak hanya berupa kekerasan fisik, tetapi juga psikologi yang dirasakan berbagai komponen masyarakat, terutama yang terkena dampak langsung konflik itu sendiri.
"Konflik yang terjadi pun tidak hanya antaragama, tetapi juga antarkampung, konflik sumber daya alam, lingkungan maupun antara masyarakat sipil dengan pemerintah serta TNI/Polri," kata Direktur International Crisis Group (ICG) itu.
Penilaian yang disampaikan itu menurut, Sidney Jones didasari berbagai hasil pengamatan dan analisa, fakta yang dikumpulkannya maupun hasil pembicaraan dengan sejumlah pihak di Maluku maupun Indonesia.
Menurutnya, konflik yang terjadi di Ambon dan Maluku pada 19 Januari 1999, juga dipengaruhi masuknya orang luar Maluku untuk memperkuat kelompoknya masing-masing, di samping kebijakan pemerintah yang belum bersungguh-sungguh melaksanakan tanggung jawabnya untuk menyelesaikan akar persoalan konflik.
"Sampai saat ini banyak kasus maupun akar konflik yang terjadi saat konflik di Ambon dan Maluku itu belum diungkap ke publik, padahal berbagai tim independen telah dibentuk pemerintah untuk melakukan advokasi, tetapi belum satu pun hasilnya yang diungkap secara transparan untuk diketahui masyarakat," tandasnya.
Selain itu persepsi masyarakat di Maluku juga terpengaruh oleh opini-opini negatif yang dibangun di luar daerah ini baik melalui media massa maupun isu-isu bernada provokatif.
Aparat TNI/Polri juga dinilai belum bersungguh-sungguh menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pelindung dan pengayom serta melindungi masyarakat, di samping lambat menangani berbagai konflik yang terjadi.
"Tidak semua aparat TNI/Polri jelek. Hanya ada oknum-oknum aparat tertentu saja yang masih berpihak kepada kelompok tertentu saat melaksanakan tugas pengamanan," ujarnya.
Dia mengakui, reformasi di tubuh TNI/Polri harus terus dilakukan, sehingga mengembalikan citranya sebagai aparat negara, pengayom serta pelindung masyarakat.
Provokasi Perdamaian
Sidney Jones dalam kesempatan itu, mengakui, ketahanan masyarakat di Ambon dan Maluku untuk tidak terprovokasi berbagai isu, sekaligus melakukan gerakan "provokasi perdamaian" semakin meningkat.
"Masyarakat lokal semakin gencar melakukan provokasi perdamaian, karena didasari kesadaran bersama bahwa konflik hanya menyisakan penderitaan berkepanjangan dan multi dimensi," katanya.
Provokasi perdamaian yang dilakukan berbagai komponen lokal, baik sosial media, bloger, elemen lintas agama, yang dilandasi kesadaran sendiri perlu terus ditingkatkan untuk melawan berbagai isu-isu menyesatkan yang sengaja dikembangkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab dan menginginkan konflik terus berlangsung di Ambon dan Maluku.
Selain itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk pemulihan trauma masyarakat, terutama mereka yang terkena dampak langsung konflik, sehingga berdampak menghilangkan perasaan dendam, di samping advokasi dan upaya pengungkapan berbagai penyebab kekerasan.
Berbagai kearifan lokal lainnyam seperti adat dan budaya yang masih mengakar di masyarakat juga perlu terus dikembangkan dan direvitalisasi sesuai dengan perkembangan jaman, sehingga menjadi alat pemersatu dan mempererat hubungan lintas komunitas.
"Saat ini orang Maluku harus bangga karena banyak kearifan lokal yang bisa digunakan sebagai media pemersatu. Apalagi semakin banyak pihak dengan kesadaran bersama terlibat melakukan provokasi perdamaian. Ini modal besar untuk menciptakan Ambon dan Maluku yang aman dan damai," ujar Sidney Jones.
Dialog yang diikuti sejumlah komponen dan pegiat masalah sosial di Ambon itu, digelar LAIM dalam rangka merefleksi 13 tahun konflik Ambon pada 19 Januari 1999. (JA/E011)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2012