Jakarta (ANTARA) - Desakan untuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tak dapat dipungkiri oleh Pemerintah, terlebih setelah tragedi kebakaran Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang pada 8 September 2021 lalu.

Kejahatan narkotika, sebuah kejahatan yang menjadi penyebab dari tingginya jumlah penghuni lapas di setiap sudut Indonesia, sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala BNN RI Petrus Reinhard Golose ketika memusnahkan barang bukti berupa sabu-sabu seberat 308 kg.

"Apabila seluruh pelaku tindak pidana dikumpulkan menjadi satu, jumlah mereka masih berada di bawah jumlah pelaku kejahatan narkotika," ungkap Golose.

Ia pun mengungkapkan bahwa lebih dari 70 persen penghuni lapas di berbagai kota dan daerah besar berasal dari kejahatan narkotika. Sedangkan, pada daerah-daerah kecil, sekitar 50 persen dari kapasitas lapas diisi oleh warga binaan dari kejahatan narkotika.

Oleh karena itu, masyarakat yang kembali melihat tingginya jumlah warga binaan hingga melampaui kapasitas lapas mulai menyerukan pentingnya para aparat penegak hukum untuk mengedepankan rehabilitasi dalam menangani tindak pidana narkotika.

Mengedepankan rehabilitasi merupakan wujud dari komitmen pemerintah dalam menegakkan keadilan restoratif di Indonesia, serta dapat menjadi solusi untuk mengurangi jumlah warga binaan yang diakibatkan oleh penggunaan narkotika.

Akan tetapi, dalam menggencarkan rehabilitasi, pemerintah harus mulai memperhatikan sejumlah kebutuhan kelompok rentan yang menjalani rehabilitasi, dalam hal ini kelompok perempuan dan transpuan.

Baca juga: AKSI dorong perbaikan sistem rehabilitasi pengguna narkotika

Baca juga: Anggota DPR minta revisi UU Narkotika kedepankan rehabilitasi


Fasilitas rehabilitasi
Koordinator Pemberdayaan Perempuan, Komunitas, dan Masyarakat Yayasan Aksi Keadilan Indonesia (AKSI) Rosma Karlina berpandangan bahwa mayoritas tempat rehabilitasi di Indonesia belum mengakomodasi kebutuhan perempuan pengguna narkotika.

Perempuan pengguna narkotika membutuhkan gedung yang terpisah dari laki-laki yang juga menjalankan rehabilitasi.

Kebutuhan dalam menempati gedung yang terpisah tidak hanya untuk melindungi para perempuan dari kekerasan seksual yang dapat mereka alami ketika menjalani rehabilitasi, tetapi juga untuk melindungi privasi perempuan ketika mereka melakukan aktivitas sehari-hari, seperti mencuci pakaian.

Rosma mengungkapkan, perempuan pengguna narkotika rentan menjadi korban kekerasan seksual akibat stigma yang melekat pada mereka. Keberadaan tersebut yang membuat perempuan seringkali merasa mendapatkan pandangan-pandangan yang melecehkan dari laki-laki.

Lebih lanjut, selain membutuhkan gedung yang terpisah, tempat rehabilitasi juga perlu menyediakan layanan daycare atau tempat penitipan anak bagi para perempuan pengguna narkotika yang memiliki anak, khususnya untuk anak yang masih membutuhkan perawatan dari ibunya.

Rosma menjelaskan, tidak jarang seorang perempuan terkendala untuk menjalankan rehabilitasi karena harus menjaga anak mereka. Apabila tempat rehabilitasi bisa menyediakan layanan berupa tempat penitipan anak, maka ibu yang merupakan pengguna narkotika dapat fokus untuk menjalani rehabilitasi karena merasa aman ketika anak mereka dijaga oleh tenaga profesional.

Selain melengkapi fasilitas untuk perempuan pengguna narkotika, pemerintah juga harus memperhatikan kebutuhan dari para transpuan pengguna narkotika.

Transpuan luput dari perhatian negara ketika ingin mengakses layanan rehabilitasi, ucap Rosma. Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki layanan rehabilitasi narkotika khusus untuk transpuan.

Transpuan merupakan kaum minoritas yang sangat rentan terhadap diskriminasi dan kekerasan seksual. Terdapat dilema ketika menempatkan transpuan di dalam ruang rehabilitasi.

Kurang tepat untuk memasukkan kaum transpuan ke ruang rehabilitasi untuk laki-laki karena tidak sesuai dengan gender mereka, tutur Rosma. Akan tetapi, ketika memasukkan kaum transpuan ke ruang rehabilitasi untuk perempuan, mereka juga jarang diterima oleh lingkungannya.

Masih terdapat perempuan yang merasa tidak nyaman apabila ditempatkan di dalam satu ruangan yang sama dengan transpuan. Oleh karena itu, transpuan juga membutuhkan ruang rehabilitasi tersendiri yang terpisah dari laki-laki maupun perempuan.

Konselor sesuai gender
Sesi konseling cenderung membuka berbagai kejadian traumatis dan luka pada masa lalu milik para pengguna narkotika. Peristiwa traumatis tersebut, kata Rosma, tak jarang memiliki keterkaitan dengan topik-topik sensitif seperti kekerasan seksual yang mungkin pernah dialami oleh pengguna narkotika, terutama perempuan.

Rosma mengatakan bahwa perempuan pengguna narkotika akan lebih terbuka ketika bercerita dengan konselor perempuan. Mereka cenderung merasa lebih nyaman untuk menceritakan kisah-kisah sensitif kepada sesama perempuan, sehingga para konselor dapat memberikan tindak lanjut yang lebih sesuai apabila dibandingkan dengan sesi konseling yang terhambat oleh batasan-batasan.

Baca juga: Kepala BNN: Pelaku menyalahgunakan narkotika berulang harus dipidana

Baca juga: JRKN: Tidak semua pengguna narkotika perlu rehabilitasi


Adapun yang dimaksud dengan batasan adalah perempuan pengguna narkotika yang enggan menceritakan kisah traumatis mereka secara utuh sehingga menyulitkan konselor untuk membantu perawatan rehabilitasi dari pengguna tersebut.

Di sisi lain, pentingnya konselor yang berasal dari gender yang sama adalah untuk mencegah terjadinya kedekatan antara konselor dengan pengguna narkotika di luar profesi sebagai konselor. Secara etik, tutur Rosma, konselor tidak boleh menjalin hubungan apa pun dengan klien.

Kebutuhan serupa juga berlaku bagi transpuan. Baik konselor perempuan maupun konselor laki-laki tidak akan bisa memahami kebutuhan seorang transpuan apabila dibandingkan dengan konselor transpuan.

Rosma menjelaskan, misalkan, ketika seorang transpuan dirujuk oleh kepolisian untuk menjalani perawatan rehabilitasi, kemudian berhadapan dengan konselor perempuan atau laki-laki, akan terdapat sejumlah kendala yang mungkin terjadi.

Kendala pertama adalah sulitnya seorang transpuan untuk membuka diri ketika berhadapan dengan konselor yang kurang memahami situasi dan kondisinya. Hal ini menyebabkan munculnya boundaries atau batasan-batasan dalam sesi konseling, sehingga konselor akan sulit untuk membantu perawatannya.

Selanjutnya, meskipun seorang transpuan menceritakan kisah yang mereka alami, konselor yang bukan merupakan transpuan akan sulit untuk memahami apa yang dibutuhkan untuk membantu perawatannya.

Dengan demikian, Rosma menegaskan bahwa penting bagi negara atau lembaga penyedia rehabilitasi untuk menyediakan konselor yang merupakan seorang transpuan.

Mengedepankan rehabilitasi merupakan langkah keadilan restoratif yang dapat diterapkan dalam kasus penyalahgunaan narkotika. Oleh karena itu, menjamin tempat rehabilitasi dapat mengakomodasi kebutuhan dari berbagai kalangan pengguna narkotika merupakan langkah yang harus dipersiapkan oleh pemerintah.

Tempat rehabilitasi harus mengakomodasi seluruh kebutuhan tersebut. Peningkatan fasilitas dan pelayanan rehabilitasi bertujuan untuk menunjang pengimplementasian Undang-Undang Narkotika, serta memenuhi kebutuhan para pengguna narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi saat ini.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022