Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan terang dan jelas mengungkapkan bahwa sifat diplomasi Indonesia pada masa pemerintahannya adalah diplomasi ekonomi.

Dalam Rapat Kerja Kepala Perwakilan Republik Indonesia dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) pada Januari 2020 Presiden Jokowi menyebut agar 70-80 persen kegiatan diplomasi berfokus pada diplomasi ekonomi, karena saat ini hal itulah yang diperlukan Indonesia. Artinya para duta besar (dubes) juga menjadi duta investasi.

Para dubes diminta untuk mengetahui celah investasi di bidang apa saja sehingga ke depan bisa engusulkan prioritas produk untuk diproduksi. Tugas duta investasi lain adalah untuk menemukan investor yang mau berinvestasi di bidang pengolahan bahan mentah karena Indonesia kaya sumber daya alam.

Bidang-bidang yang diminta digarap dubes antara lain produk substitusi impor, seperti petrokimia maupun minyak kelapa sawit.

Sesuai arahan Presiden, Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Indonesia untuk Korea Selatan Gandi Sulistiyanto Suherman yang berkedudukan di Seoul pun melakukan beragam bentuk diplomasi ekonomi.

"Saya ini pengusaha yang terpeleset jadi dubes, jadi saya dubes salesman karena kerjanya jualan dan bahkan membuka fungsi baru di sini yaitu fungsi ekonomi kreatif dan digital economy," kata Gandi Sulistiyanto yang biasa disapa Sulis di Seoul saat menerima kunjungan "The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea," program bentukan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation yang diikuti oleh 9 jurnalis Indonesia, akhir Mei 2022.

Sebelum menjadi dubes, Sulis adalah Managing Director Grup Sinarmas. Ia menjadi pengusaha selama sekitar 30 tahun. Sulis dilantik sebagai dubes pada 17 November 2021 dan baru berkantor di Seoul pada 5 Januari 2022.

"Saya baru bisa memberikan surat kredensial saya ke Presiden Korsel bulan lalu, jadi selama menunggu, dalam 5 bulan saya bertemu dengan chaebol-chaebol (konglomerat Korsel) untuk bicara soal Indonesia," ungkap Sulis.

Korsel merupakan salah satu negara sumber investasi bagi Indonesia. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi dari Korsel ke Indonesia sebesar 900 juta dolar AS atau sekitar Rp13 triliun (kurs Rp 14.500) pada kuartal I 2021. Pencapaian tersebut memosisikan Korsel sebagai negara ke-3 terbesar investasi di Indonesia.

Pembangunan pabrik mobil Hyundai di Deltamas, Cikarang, Bekasi, menjadi pendorong investasi Korea Selatan. Hyundai memiliki nilai investasi sebesar 1,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp21 triliun. Hingga saat ini sudah terealisasi Rp13 triliun - Rp14 triliun.

Bahkan Presiden Jokowi sendiri yang meresmikan pabrik PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia (HMMI) di Cikarang pada 16 Maret 2022. Pabrik manufaktur seluas 77,6 hektare itu berkapasitas produksi 150.000 unit per tahun atau maksimal 250.000 unit per tahun dengan tujuan pasar Asia Tenggara.

Selain itu ada juga pabrik plastik hulu PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) senilai 4 miliar dolar AS atau lebih dari Rp60 triliun. Bentuk dari realisasi ini adalah pembangunan mesin naphta cracker atau mesin pengubah minyak mentah menjadi etilin berkapasitas 1 juta ton per tahun.

Sedangkan di sektor perdagangan, nilai perdagangan kedua negara pada 2021 mencapai 18,4 miliar dolar AS dan ditargetkan meningkat mencapai 20 miliar dolar AS pada 2022. Korsel berada di peringkat ke-7 dari negara tujuan ekspor, dan peringkat ke-6 sebagai negara asal impor produk ke Indonesia.

Sulis pun mengaku optimis dapat mencapai target tersebut.

"Khususnya untuk ekspor batu bara, kemudian CPO (crude palm oil), kita akan coba langsung bisa masuk ke sini karena CPO dari Indonesia masih sedikit volumenya di sini, mereka lebih banyak ambil dari Malaysia. Selain itu banyak industri asal Korsel yang berproduksi di Indonesia, barang jadinya bisa diekspor kembali kemari yang merupakan barang ekspor Indonesia ke Korea, tentu akan menambah kumulatif perdagangan kita," jelas Sulis.

Selain CPO, Sulis juga melihat peluang peningkatan ekspor batu bara. Ia bahkan telah menyampaikan ke Pemerintah Korsel bahwa Indonesia siap menyuplai kekurangan pasokan batu bara akibat perang Rusia-Ukraina.

"Saya belum mencatat angkanya tapi saya yakin sudah ada (peningkatan) karena satu trader sudah laporkan ke saya, ada suplai 29 juta ton per tahun. Ini trader Korea yang suplai ke seluruh dunia, belum trader lainnya. Walau memang batu bara di sini butuh batu bara yang kalorinya tinggi sedangkan produksi batu bara Indonesia kalorinya tidak setinggi itu, makanya Korsel banyak ambil dari Australia dan Rusia," ungkap Sulis.

Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Indonesia untuk Korea Selatan Gandi Sulistiyanto Suherman (tengah) didampingi Wakil Kepala Perwakilan RI untuk Korea Selatan Zelda Wulan Kartika (kanan) berbincang dengan pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal saat menerima kunjungan "The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea" di KBRI Seoul pada Senin (30/5/2022). (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Apalagi Indonesia dan Korsel memiliki komitmen Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership (IK-CEPA) dengan tiga pilar utama yaitu akses pasar perdagangan barang dan jasa, fasilitasi perdagangan dan investasi, serta kerja sama dan capacity building yang diinisiasi sejak 2012 dan ditandatangani secara resmi pada 18 Desember 2020.

Dari implementasi IK-CEPA tersebut telah dihapus 11.687 pos tarif produk Indonesia untuk ekspor ke Korsel.

"IK-CEPA sudah ditandatangan tahun lalu tapi masih ada di DPR untuk diratifikasi, kalau sudah ditandatangani DPR, akan ada ribuan barang yang tidak memerlukan bea masuk di Korea maupun Indonesia," ungkap Sulis.

Ia berharap DPR dapat meratifikasi IK-CEPA pada tahun 2022 setidaknya pada semester 1 2022.

"Saya sudah bicara langsung dengan Presiden Yoon saat pelantikan beliau. Saya ingatkan kalau sejak 2017 Indonesia-Korsel sudah punya special strategic partnership. Indonesia jadi satu-satunya negara ASEAN yang punya hubungan spesial dengan Korsel, saya ingatkan dengan beliau tentang hubungan spesial itu," jelas Sulis.

Sulis menghadiri pelantikan Presiden Korsel Yoon Seok Yeoul pada 10 Mei 2022 yang juga dihadiri Presiden Indonesia ke-5 Megawati Soekarnoputri.

"Kemudian dengan adanya Presidensi Indonesia di G20, saya juga ingatkan Presiden Yoon sekaligus mengundang Presiden Yoon untuk hadir di Bali pada November tahun ini dan beliau mengatakan akan hadir di G20. Ini memberikan sinyal jelas bilateral Indonesia-Korsel," ungkap Sulis.

Sedangkan untuk mendorong investasi, KBRI Seoul bersama Indonesia Investment Promotion Center (IIPC) di Seoul mengadakan "Road to G20: Briefing Session on Indonesia Investment Opportunity 2022" pada 31 Mei 2022.

Sulis menyebut fokus promosi investasi ke Indonesia di Korsel sesuai dengan tiga prioritas utama Presidensi G20 Indonesia, yaitu: arsitektur kesehatan global, transformasi digital dan transisi energi.

Forum investasi tersebut pun menampilkan 6 proyek investasi, yaitu: Zona Kawasan Industri Batang dan Kota Grand Batang, Jateng; Peternakan Lobster Terintegrasi Menggunakan Teknologi Kolam RAS di Kabupaten Garut, Jawa Barat; Manajemen limbah Manggar di kota Balikpapan, Kalimantan Timur; Taman Wisata Tumpak Sewu, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur; Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Tolo 2, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan; dan proyek "start up" dan percepatan "start up" oleh Next Indonesia Unicorn/NEXTICORN.

Kegiatan itu dihadiri sekitar 200 peserta secara luring dan daring, yang terdiri dari para pemimpin sektor bisnis Korsel, termasuk perusahaan besar LX International, Kodeco Energy, Heli Korea Co Ltd, Persolkelly Korea, POSCO International, Lotte E&C, KOIMA dan akselerator start up KB Innovation Hub serta Spark Labs.

Memang menginjak 49 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Korsel pada 2022, kedua negara perlu menjaga dan bahkan meningkatkan kerja sama baik secara bilateral, regional maupun multilateral di berbagai bidang.

Apalagi Korsel dinilai negara yang tidak punya hidden agenda terhadap Indonesia.

"Dalam pandangan saya, yang membuat hubungan Indonesia-Korsel spesial karena hubungan ini tanpa beban dan tanpa agenda, tidak ada hidden agenda seperti misalnya relasi dengan negara-negara besar lain. Beban di sini artinya beban sejarah masa lalu, jadi tidak ada additonal control variable yang dapat mengunci hubungan kedua negara sehingga tidak dapat berkembang," kata pendiri FPCI Dino Patti Djalal yang juga ikut dalam kunjungan jurnalis Indonesia tersebut.

Akhirnya langkah tanggap, cerdik dan mantap diperlukan dalam pelaksanaan diplomasi ekonomi kedua negara.

Baca juga: Dubes Gandi tawarkan proyek unggulan Indonesia kepada investor Korsel
Baca juga: MPR harap hubungan RI-Korsel makin baik pascapelantikan Yoon Suk-yeol

Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022