Jakarta (ANTARA News) - Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR di Jakarta, Senin, Bank Indonesia menyatakan ingin mengembalikan fungsi kartu kredit sebagai alat bayar dan bukan sebagai sarana untuk mendapat kredit (pinjaman).
"Pada prinsipnya BI ingin mengembalikan fungsi kartu kredit sebagai alat bayar dan bukan sebagai cara untuk mendapatkan kredit," kata Deputi Gubernur BI bidang Sistem Pembayaran dan Pengawasan Bank Ronald Waas kepada Komisi IX DPR.
Rapat tersebut membahas Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 13/25/2011 yang ditetapkan 9 Desember 2011, tentang Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain dan PBI No.14/2/PBI/2012 tanggal 6 Januari 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No.11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
"BI perlu menjelaskan mana yang menjadi tugas utama bank? Apakah petugas customer service, front office, serta penagih utang menjadi tugas utama bank?" kata ketua RDP Harry Azhar Aziz yang juga menjadi wakil ketua komisi IX DPR RI.
Ronald Waas dalam penjelasannya mengatakan bahwa tugas customer sercive dan front office merupakan tanggung jawab bank, namun dalam penagihan utang pada tahap kredit yang macet diserahkan kepada pihak penyedia jasa.
"Kami mengategorikan penagihan kredit sebagai kegiatan penunjang sehingga bisa dialihjasakan, jadi penagihan kredit tingkat 1 dan 2 masih dilakukanbank, tapi bila sudah masuk kategori macet baru dialihkan ke pihak luar, namun tetap tanggung jawabbank," kata Ronald.
Deputi Gubernur bidang Pengaturan Bank Muliaman D. Hadad yang juga hadir dalam RPD tersebut mengatakan bahwa aturan dua aturan BI tersebut masih membutuhkan sosialisasi dan edukasi untuk nasabah maupun perbankan.
"BI mengakui bahwa PBI yang dikeluarkan masih reaktif karena dikeluarkan setelah terjadi masalah, jadi kedua peraturan ini masih memerlukan sosialisasi kepada pihak bank sekaligus didukung edukasi kepada konsumen mengenaipenggunaan kartu kredit," kata Muliaman.
Namun ia mengakui bahwa kredit macet (NPL) dari kartu kredit masih 4,5 persen atau tergolong rendah.
Kasus penggunaan penyedia jasa (outsource) bagi bank, khususnya sebagai penagih kartu kredit mengemuka setelah pada 29 Maret 2011, salah satu nasabah pemegang kartu kredit Citibank, Irzen Oktra tewas di kantor Citibank Jakarta di Gedung Menara Jamsostek karena diduga dianiaya oleh petugas lapangan PT. Taketama Star Mandiri yang bergerak dibidang jasa penagihan.
Kasus tersebut masih bergulir di PN Jakarta Selatan dengan lima terdakwa dari PT. Taketama Star Mandiri, sementara gugatan istri Irzen Okta kepadapihak Citibank yang dianggap menempuh cara kekerasan dalam penagihan kredit dimentahkan oleh PN Jakarta Pusat.
Menurut PBI No 13/25/2011 pasal 4 ayat 3, bank dapat melakukan alih daya kepada perusahaan penyedia jasa dengan kriteria pekerjaan berisiko rendah; tidak membutuhkan kualifikasi kompetensi yang tinggi di bidang perbankan; dan tidak terkait langsung denganproses pengambilan keputusan yang mempengaruhi operasional bank.
Namun bank dilarang untuk melakukan alih daya yang mengakibatkanberalihnya tanggung jawab atau risiko dari obyek pekerjaan yang dialihdayakan kepada Perusahaan Penyedia Jasa (pasal 10 ayat 2).
Perusahaan penyedia jasa tersebut juga harus berbadan hukum, memiliki kinerja keuangan dan reputasi yang baik serta sumber daya manusia yang mendukung pekerjaan tersebut.
BI mewajibkan bank menyerahkan laporan mengenai alih daya tersebut yang memuat mengenai informasi jenis pekerjaan yang dialihdayakan, nama perusahaan penyedia jasa, gambaran permasalahan dan langkah-langkah yang dilakukan bank untuk mengatasi permasalahan setiap tahun paling lambat 31 Desember (pasal 17 ayat 1).
(D017)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2012