Inflasi diperkirakan tidak akan menjadi masalah 2012 ini sehingga dalam jangka pendek inflasi non-inti akan memberi BI ruang untuk menurunkan tingkat suku bunga terutama jika pertumbuhan ekonomi mulai melunak (melemah).

Jakarta (ANTARA News) - Ekonom DBS Research Group, Eugene Leow menilai masih ada ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan atau BI rate karena perkiraan laju inflasi yang terkendali.

"Inflasi diperkirakan tidak akan menjadi masalah 2012 ini sehingga dalam jangka pendek inflasi non-inti akan memberi BI ruang untuk menurunkan tingkat suku bunga terutama jika pertumbuhan ekonomi mulai melunak (melemah)," sebut Eugene Leow dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA News, di Jakarta, Senin.

Menurut dia, masih ada ruang bagi BI untuk menurunkan BI rate hingga 50 basis point dari saat ini sebesar 6,0 persen menjadi 5,50 persen. Ia memperkirakan BI akan menurunkan BI rate pada kuartal I 2012 (sebelum pemberlakuan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi dan kenaikan tarif dasar listrik) dan kemudian akan mempertahankan di level 5,50 persen hingga akhir 2012.

Ia berpendapat, dengan asumsi akan terjadi pemulihan ekonomi global di semester kedua 2012 dan pertumbuhan ekonomi domestik yang kuat selama beberapa kuartal ke depan, kenaikan inflasi yang cukup signifikan kemungkinan baru akan terjadi pada akhir 2012 menuju 2013.

Eugene Leow memperkirakan, harga barang diproyeksikan akan turun di kuartal pertama 2012 dan akan meningkat secara perlahan sampai ke level 5,0 persen di akhir tahun. Tingkat inflasi rata-rata pada kuartal I 2012 diperkirakan akan menyentuh 4,5 persen.

Mengenai pertumbuhan kredit, ia memperkirakan akan berada pada level moderat sekitar 25 persen di tengah tekanan faktor ekternal yang lebih besar. Hal ini akan berakibat pada tekanan inflasi yang lebih ringan.

Arus modal keluar/masuk dapat menjadi sumber inflasi/deflasi bergantung pada pengelolaan likuiditas dan pertumbuhan jumlah uang beredar. Dalam sebelas bulan pertama di 2011, jumlah uang beredar cukup stabil kecuali bulan Agustus (terdapat kenaikan 12,7 persen dibanding bulan sebelumnya karena penurunan tajam operasi pasar terbuka (OPT) dan September (ketika anomali tersebut dikoreksi dengan penurunan 9,6 persen dibanding Agustus yang diakibatkan penurunan "nett foreign asset"/ NFA.

Perubahan NFA cenderung mengikuti sentimen global. Jika sentimen global kuat, NFA cenderung naik melalui arus modal masuk asing yang lebih kuat yang mengakibatkan pertumbuhan mata uang yang beredar. Kebalikannya juga berlaku ketika terjadi penghindaran resiko (risk aversion). OPT dilakukan untuk meminimalisir dampaknya terhadap jumlah uang beredar.

Total OPT bertengger di level Rp246 triliun pada November 2011, turun dari puncaknya pada Desember 2010 sebesar Rp417 triliun.

Meskipun sebagian penurunan OPT mungkin disebabkan oleh pembatasan investasi di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk mencegah bank mengambil keuntungan dari surat berharga ini, tidak tertutup kemungkinan bagi BI untuk menyerap likuiditas ini di bulan-bulan mendatang pada saat sentimen global dan arus modal masuk kembali.

Sementara itu mengenai pembatasan BBM bersubsidi, Eugene Leow menyebutkan bahwa masih diperlukan persetujuan dari DPR untuk meloloskan kebijakan tersebut. Ia mencontohkan pada awal 2011, proposal pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik (TDL) ditolak oleh DPR.

Menurut dia, keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan perlambatan ekonomi global serta keraguan apakah kenaikan harga listrik dan BBM tersebut akan berdampak buruk terhadap pasar domestik. Selain itu, faktor lain yang menjadi pertimbangan adalah keraguan apakah pembatasan BBM bersubsidi akan dapat diimplementasikan dengan mudah.

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2012