Semarang (ANTARA News) - Budayawan KH Mustofa Bisri (Gus Mus) meminta kepada DPR agar berhati-hati terhadap rencana mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti-Pornografi dan Pornoaksi. "Sebelum dikeluarkannya RUU tersebut DPR harus bisa menyerap semua aspirasi masyarakat Indonesia yang beragam," katanya, terkait dengan rencana DPR yang akan mengesahkan RUU itu dalam waktu dekat ini, di Semarang, Senin. Menurut Gus Mus, sekarang ini definisi pornoaksi dan pornografi belum jelas dan belum baku, sehingga untuk menetapkan apakah suatu perbuatan tersebut termasuk dalam pornografi atau pornoaksi masih sangat sulit. Ia mengatakan adanya desakan untuk segera mengeluarkan peraturan mengenai pornoaksi dan pornografi merupakan manifestasi kepanikan dari sebagian kelompok Islam yang merasa rendah diri. Kelompok ini merasa rendah diri dan tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengatasi masalah pornoaksi dan pornografi di Indonesia, sehingga mereka menekan DPR dan pemerintah untuk mengeluarkan UU yang mengatur masalah satu ini. Dengan adanya tekanan untuk segera disahkannya UU Anti-Pornografi dan Pornoaksi, seakan-akan umat Islam tidak mampu memecahkan persoalanya sendiri. Ada semacam kepanikan umat Islam terhadap globalisasi yang sedang terjadi saat ini. "Seakan umat Islam begitu cemas dan tidak bisa mengatasi persoalannya sendiri, sehingga harus berupaya agar UU Anti-Pornografi dan Pornoaksi agar segera disahkan," katanya. Ia mengakui dengan akan dikeluarkannya UU itu oleh DPR, sekarang ini terjadi pro dan kontra yang cukup tajam antara yang setuju dan yang menolak. Bahkan ada juga yang asal pro dan asal kontra. "Untuk itu DPR harus bertindak arif dengan mengakomodir semua kepentingan dan aspirasi mereka. Apalagi di Indonesia ada beberapa provinsi yang sudah sangat kental dengan penampilan yang oleh sebagian masyarakat dinilai sebagai porno, seperti di Bali dan Papua," katanya. Gus Mus yang menjadi pengasuh Ponpes Roudlotul Tolibin, Leteh, Rembang ini menyatakan jika nantinya UU disahkan, pelaksanaannya akan cukup berat, apalagi selama proses pembuatan RUU sosialisasinya sangat kurang. Hanya kelompok-kelompok tertentu saja yang bisa mengetahui isi dari RUU porno grafi dan porno aksi. "Definisi porno harus tegas dulu, karena masalah aurat itu juga banyak pendapat. Jangan-jangan setelah RUU disahkan nanti justru akan berbenturan dengan fiqih Islam, karena dalam fiqih Islam banyak pelajaran tentang seksual, termasuk dunia kedokteran," katanya. DPR sebelum mengesahkan RUU yang satu ini harus menyodorkan draf RUU kepada tokoh masyarakat, termasuk kalangan tokoh agama, untuk dimintai pendapat apakah draf tersebut sudah sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang atau belum. (*)
Copyright © ANTARA 2006