Jakarta (ANTARA) - Permasalahan rantai pasokan limbah pasca-konsumsi dijawab lewat DIVERT, sebagai sebuah proyek berbasis digital yang diprakarsai oleh Waste4Change atas dukungan Unilever global melalui program TRANSFORM.
Program itu secara global telah banyak membantu terealisasinya puluhan proyek yang mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
"Proyek DIVERT bertujuan untuk menjawab permasalahan rantai pasokan limbah pasca-konsumsi. Sejak dimulai pada September 2021 lalu, proyek ini telah berhasil mengurangi kesenjangan upaya daur ulang sampah plastik dengan memvalidasi dan melacak seluruh alur sampah menuju terciptanya ekonomi sirkular yang lebih efektif dan efisien," kata Head of Collect Waste4Change dan Project Manager DIVERT Rizky Ambardi, dalam konferensi pers daring, Kamis.
Baca juga: Kiat memulai hidup minim sampah
Baca juga: Perlu upaya konkret tangani sampah plastik yang kian bertambah
DIVERT telah berhasil terpilih menjadi salah satu proyek dari 13 negara yang mendapatkan dukungan pendanaan dari Unilever global, yaitu sebesar lebih dari Rp3 miliar.
Rangkaian program yang telah terlaksana tidak lepas dari peran serta mitra pemulung dan pengepul sampah daur ulang. Hingga saat ini, proyek DIVERT telah melibatkan 556 mitra pengumpul sampah, melakukan scale-up sistem ERP untuk 51 mitra, dan berhasil mengumpulkan 778 ton sampah plastik dalam jangka waktu 6 bulan.
“Salah satu program yang dilaksanakan dalam proyek ini adalah membuat sistem Enterprise Resource Planning (ERP) untuk memastikan ketertelusuran sampah, capacity building bagi mitra-mitra pengumpul sampah, hingga pengoptimalan fasilitas pengumpulan dan pengolahan sampah. Dengan adanya ERP, maka pengumpulan, ketertelusuran, serta kuantitas dan kualitas sampah plastik menjadi lebih meningkat,” terang Rizky.
Saat ini permasalahan lingkungan yang dihadapi bumi sangatlah beragam, salah satunya permasalahan sampah plastik yang pelik.
Di Indonesia, 4,8 juta ton sampah plastik tidak dikelola dengan baik tiap tahun, seperti dibakar di ruang terbuka (48 persen), tidak dikelola secara layak di tempat pembuangan sampah resmi (13 persen), dan sisanya mencemari saluran air dan laut (9 persen).
Penerapan ekonomi sirkular dipercaya banyak pihak sebagai salah satu upaya yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan sampah plastik di Indonesia.
Namun penerapan di lapangan tentu tidak mudah, peran serta semua pihak dan sinergi dari semua aktor dalam mata rantai daur ulang harus digalakkan, agar sampah sebagai bahan daur ulang dapat dikumpulkan kembali dan diproses menjadi produk daur ulang atau proses pengelolaan lainnya.
Namun, menurut pengamatan Waste4Change, kurangnya data di fase pengumpulan sampah plastik salah satunya menyebabkan masih adanya gap yang besar antara sampah plastik yang diproduksi, yang saat ini didaur ulang, dan yang berpotensi untuk didaur ulang.
Hal itu turut berdampak ke pihak produsen seperti Unilever, dimana data yang belum memadai mengakibatkan rantai pasok daur ulang yang ada saat ini menjadi panjang dan belum efisien. Diperlukan upaya yang lebih besar agar dapat memperoleh bahan baku dari plastik daur ulang dalam jumlah signifikan untuk dapat diolah menjadi kemasan kembali.
Direktur Pengurangan Sampah, Dirjen PSLB3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sinta Saptarina Soemiarno menanggapi, “Apresiasi kepada Unilever dan Waste4Change yang telah mengeluarkan proyek berbasis digital melalui program TRANSFORM. Program ini sangat mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) serta selaras dengan berbagai upaya strategis yang dilakukan pemerintah dalam pengurangan dan penanganan sampah.”
“Dengan kecenderungan peningkatan sampah plastik dari 11 persen di 2010 menjadi 17 persen di 2021, Pemerintah melalui Permenlhk 75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, para produsen diamanatkan untuk menyampaikan upaya pengurangan sampah mulai dari hulu yakni upaya pembatasan timbulan sampah hingga hilir menarik kembali kemasan paska pakai untuk dimanfaatkan kembali atau di daur ulang."
Ia mengatakan, semakin sedikit kemasan yang terbuang ke TPA sesuai dengan tujuan pembangunan Ekonomi Sirkular di Indonesia. Pemanfaatan teknologi digital yang dilakukan proyek DIVERT menjadi solusi tepat untuk monitoring, evaluasi dan verifikasi sehingga mendapat hasil yang terukur.
Astri Puji Lestari selaku pegiat gaya hidup ramah lingkungan menyuarakan, “Di tengah tantangan mewujudkan ekonomi sirkular, konsumen punya peran yang tak kalah penting. Menjadi konsumen yang lebih bertanggung jawab banyak sekali caranya, salah satunya bisa dilakukan dari rumah, dengan menjadi bagian dari #GenerasiPilahPlastik. Saat kita terbiasa memilah sampah dari rumah dan membawanya ke Bank Sampah, artinya kita ikut menjaga nilai dan kualitas sampah plastik agar dapat menjadi komoditi berguna yang mendukung industri daur ulang.”
Head of Sustainable Environment, Unilever Indonesia Foundation, Maya Tamimi, mengatakan perusahaan ini punya beberapa komitmen paling lambat pada tahun 2025 akan engurangi setengah dari penggunaan plastik baru, dengan penggunaan kemasan plastik sebanyak lebih dari 100.000 ton dan mempercepat penggunaan plastik daur ulang.
Pihaknya juga akan memastikan 100 persen kemasan plastiknya dapat digunakan kembali, didaur ulang, atau diubah menjadi kompos, mengumpulkan dan memproses lebih banyak plastik daripada yang dijual serta meningkatkan penggunaan konten plastik daur ulang (PCR) di kemasannya, setidaknya 25 persen.
"Upaya yang dilaksanakan mulai dari hulu ke hilir rantai bisnis ini telah memungkinkan Unilever Indonesia untuk membantu mengumpulkan dan memroses lebih dari 45.900 ton sampah plastik di 2021 melalui pengumpulan sampah plastik dari jaringan bank sampah sebanyak lebih dari 24.500 ton serta pemrosesan sampah melalui teknologi Refused Derived Fuel (RDF) sebanyak lebih dari 21.400 ton," tutup Maya.
Baca juga: Galih Donikara: Regulasi ketat jaga gunung bebas sampah
Baca juga: Lima tips kelola sampah
Baca juga: Tiga tips kurangi limbah makanan
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022