Kuala Lumpur (ANTARA) - Aliansi Organisasi Masyarakat Indonesia (AOMI) Malaysia angkat bicara soal 147 pekerja migran Indonesia (PMI) asal Nusa Tenggara Barat (NTB) yang tertunda keberangkatannya ke Malaysia pada Selasa (31/5).
Menurut AOMI, dalam pernyataan sikap terbarunya yang dikutip di ANTARA, Kamis, tudingan Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (2/6), yang menyebutkan keberangkatan 147 calon pekerja migran Indonesia (CPMI) asal NTB cacat prosedur tidak sesuai fakta, absurd dan bertolak belakang dengan regulasi yang ada di Malaysia.
AOMI mengatakan pernyataan Kepala BP2MI justru telah membuat kegaduhan bagi hubungan kedua negara mengingat pernyataan tersebut tidak sesuai dengan isi perjanjian bidang ketenagakerjaan oleh kedua negara.
Padahal, empat lembaga penempatan tenaga kerja migran NTB melalui Asosiasi Perusahaan Pekerja Migran Indonesia (APPMI) menjelaskan bahwa seluruh pekerja yang telah lolos masa orientasi telah mengantongi dokumen resmi berupa rujukan penerbitan visa kerja, sebagaimana kesepakatan atas permintaan pihak perusahaan dan Pemerintah Malaysia.
CPMI yang hendak bekerja di Malaysia cukup memiliki visa rujukan yang dikeluarkan pemerintah Malaysia yang merupakan dokumen resmi ketenagakerjaan dari mereka bagi pekerja asing yang akan bekerja di sana. Sehingga dengan berbekal visa dengan rujukan tersebut calon pekerja sudah dapat berangkat ke Malaysia.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 9 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagai aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 pasal 15 juga mempertegas hal itu, di mana perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) yang memfasilitasi proses pengurusan visa kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan negara tujuan penempatan.
Maka berdasarkan aturan itu, visa rujukan itu menjadi dasar hukum penempatan PMI ke Malaysia selama ini, sebagaimana data resmi dari BP2MI pada 2019, 2020, 2021 dan 2022 menunjukkan penempatan ke Malaysia dengan menggunakan visa yang sama yaitu visa dengan rujukan.
Pernyataan yang ditandatangani Presidium AOMI Malaysia itu menyebut Kepala BP2MI tidak terlalu mengikuti perkembangan Memorandum of Understanding (MoU) tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang baru ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Malaysia pada 1 April 2022 lalu.
AOMI menyampaikan tiga butir pernyataan sikap yang meminta ketua Komisi IX DPR RI untuk mengadakan rapat dengar pendapat dan juga menghadirkan Duber RI untuk Malaysia Hermono untuk menempatkan keterangan yang berimbang dan lengkap. Lalu memohon kepada Ketua Komisi IX DPR RI agar meminta Presiden RI untuk memberhentikan Benny Rhamdani sebagai Kepala BP2MI untuk mengantisipasi dampak lebih buruk terhadap hubungan Indonesia dan Malaysia, karena merekam dan mempublikasikan secara terbuka percakapan telepon dengan pejabat kedutaan Malaysia di Indonesia.
Selanjutnya, memohon kepada Ketua Komisi IX DPR RI agar meminta kepada Presiden RI untuk melantik Staf Khusus Presiden RI bidang Pekerja Migran Indonesia.
Sebelumnya Kepala BP2MI Benny Rhamdani mengatakan penundaan keberangkatan CPMI dari NTB tersebut disebabkan salah satunya visa yang digunakan untuk berangkat tidak menggunakan visa kerja.
UPT BP2MI Provinsi NTB tidak dapat melakukan OPP dikarenakan visa yang digunakan tidak sesuai dengan pasal 13 butir f UU Nomor 18 Tahun 2017," ujar dia.
Menurut dia, dalam pasal tersebut dengan jelas menyatakan bahwa calon PMI membutuhkan visa kerja sebagai salah satu syarat keberangkatan ke negara penempatan. Sementara visa yang dimiliki oleh para pekerja tersebut yang diverifikasi UPT BP2MI di NTB bukan merupakan visa kerja.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2022