mending untuk benerin fasilitas umum kayak KRL misalnya, atau sukur-sukur untuk pendidikan"

Jakarta (ANTARA News) - Hanya sekitar 10 menit berjalan kaki dari gedung parlemen yang megah, seorang ibu asyik menggoreng tempe dan tahu jualannya.

Minyak goreng yang digunakannya sudah berwarna kehitaman, namun dia tidak peduli.

"Minyak goreng mahal, daripada uangnya untuk beli minyak, mending beli yang lain. Minyaknya masih bisa dipake kok," ujar Yuliawati.

Ibu berusia 51 tahun ini akrab disapa Bu Njul.

Bu Njul menjual gorengannya di salah satu kios kecil berukuran 1,5 x 2 meter persergi di stasiun kereta api Palmerah, Jakarta Barat.

Kios kecilnya itu beratapkan seng. Temboknya setengah batu bata, setengah triplek.

Tempat usaha apa adanya itu tak jauh dari kawasan mentereng nan mewah di daerah Senayan, tempat di mana kompleks gedung MPR/DPR yang terkenal dengan kubah kembarnya itu berdiri megah.

Mobil-mobil mewah terparkir rapi tidak jauh di pintu utama gedung wakil rakyat itu. Lantainya terbuat dari marmer. Orang-orang berkuasa nan perlente yang berpredikat wakil rakyat dan pastinya memperjuangkan nasib rakyat itu, tentu saja termasuk Bu Njul, lalu lalang di gedung ini.

Baru-baru ini, salah satu ruang di gedung itu, yaitu ruang Badan Anggaran, rencananya akan direnovasi yang menurut paparan resmi yang berotoritas di gedung itu, akan membutuhkan dana sebesar Rp20 miliar.

"Renovasi ruang rapat baru Badan Anggaran, dengan mengoptimalkan kapasitas dan fasilitas ruangan, seperti penggunaan furniture yang efisien, penggunaan sound system, dan layar monitor besar, maupun penggunaan akustik ruangan," kata Sekretaris Jenderal DPR RI Nining Indra Saleh di Gedung DPR, Rabu lalu.

Basis

Sementara pada bagian atap depan kios Bu Njul, terdapat bekas banner kampanye salah satu petinggi negeri ini. Bu Njul memakainya sebagai penutup kebocoran.

"Biar nggak tampias kalau hujan, soalnya kalau air masuk ke dalam bisa repot nanti," ujar ibu beranak tiga itu.

Kios milik ibu asal Ciseeng, Parung, adalah salah satu dari sekitar limabelas kios yang berjejer di pinggiran stasiun kereta api Palmerah.

"Yah, beginilah kami hidup. Daripada tinggal di kontrakkan dan bayar lagi, kami memilih tinggal di kios," ujar Ahmad Muhsin (56), salah satu tetangga Bu Njul di Stasiun Palmerah.

Di kios berbiaya sewa lebih dari satu juta rupiah per tahun itu, mantan kuli panggul ini menjajakkan barang dagangan serupa dengan yang dijual Bu Njul. Tempe dan tahu goreng bertepung, kopi, teh, permen, rokok, dan tissue.

Kios kecil milik Bu Njul dan Muhsin terasa seperti kuman di kawasan yang dikelilingi sistus-situs megah nan mewah di daerah tersebut, apa itu kompleks pertokoan mewah Senayan, perumahan elite Permata Hijau, dan tentu saja gedung DPR yang nampaknya terus kian dipercantik, untuk tidak menyebut dipermewah.

Mungkin ada berjuta kios-kios kecil serupa ditempati orang-orang kecil seperti Bu Njul dan Muhsin di seluruh Tanah Air ini.

Dan menurut banyak kalangan, termasuk ekonomi, sektor usaha yang mereka geluti --yaitu sektor informal-- justru menjadi basis ketahanan ekonomi nasional yang memang disangga kuat oleh sektor-sektor informal.

Ironisnya, nasib orang-orang seperti Bu Njul nyaris tak terperjuangkan. Orang-orang seperti ini berjuang sendirian menghadapi hidup, padahal mereka juga mengaku pemilih suatu partai politik di pemilu lalu. Mereka telah menggantungkan harapan kepada orang-orang yang dulu menjanjikan mereka harapan.

"Kami bertahun-tahun tinggal di kios ini, tapi kios ini juga tidak pernah lunas. Utang saya sudah hampir Rp 3 juta rupiah. Saya nggak tahu mau bayar pakai apa," ujar Bu Njul dengan wajah ditekuk sedih.

Joki

Jangankan membayar sewa kios, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka kewalahan. Dengan penghasilan tidak lebih dari Rp30 ribu per hari, Muhsin dan Bu Njul harus mencari cara untuk bisa mendapatkan tambahan.

"Anak saya kalau pagi dan sore jadi joki three in one. Habis cari kerja susah," ujar Bu Njul.

Dia menyambung, "Dulu yang kampanye janjikan lowongan pekerjaan buat orang-orang seperti kami. Mana ya buktinya?"

"Kami tidur di kios ini, kalau mandi di WC umum," sambung Muhsin seraya menunjuk WC umum, dekat peron satu yang becek kotor karena tanah, pintunya agak rusak serta sulit ditutup, sementara keran airnya sulit dinyalakan.

Mungkin itu alasannya mengapa WC tersebut berbau sangat pesing.

"Tuh coba bandingkan dengan WC di gedung MPR," kata Martin Suganda (37), seorang penjual minyak di pasar Palmerah, yang sedang menunggu kereta dengan tujuan Rangkasbitung.

"Miliaran untuk kamar mandi DPR. Tapi warga Jakarta nggak punya mandi umum yang layak," ujarnya.

Bagi kebanyakan rakyat kecil, kabar renovasi kamar kecil Gedung DPR terasa getir. Para petinggi sendiri memiliki alasan yang memang logis. "Kalau dikatakan terlalu mahal, itu kan ada standar bangunan untuk gedung pemerintah," kata Ketua DPR Marzuki Alie beberapa waktu lalu.

Marzuki mengatakan kepada para pengkritik renovasi gedung DPR untuk jangan membawa masyarakat berpikir irasional. Toilet yang sekarang digunakan anggota DPR untuk berbagai keperluan, selain buang air, berwudlu, juga mandi.

Pendidikan

Marzuki benar, tapi mungkin yang awam inginkan adalah kepekaan sosial, seperti dituntutkan Martin, Bu Njul, dan Muhsin yang adalah para pemilih wakil rakyat.

"Mau renovasi mah silakan saja, tapi untuk kamar mandi sampai miliaran? Itu nggak masuk akal," ujar Hapsari (33), penjual kue di pasar Palmerah.

Riri Marini (35), seorang ibu rumah tangga dengan dua anak, menyambung Hapsari dengan mengatakan biaya pendidikan dan fasilitas umum tidak diperhatikan negara.

"Katanya wakil rakyat. Tapi daripada milyaran untuk renovasi, mending untuk benerin fasilitas umum kayak KRL misalnya, atau sukur-sukur untuk pendidikan," ujar wanita yang berdomisili di Tangerang.

Sekretaris Jenderal DPR RI Nining Indra Saleh menjelaskan renovasi ruang rapat baru Badan Anggaran dikerjakan agar kegiatan rapat-rapat Badan Anggaran bisa lebih efisien dan optimal.

"Apalagi, agenda Badan Anggaran cukup padat, seperti membahas perencanaan anggaran maupun pengawasan anggaran," katanya.

Untuk itulah, Setjen DPR RI merasa ruangan itu harus direnovasi.

Sementara orang-orang penting menjelaskan panjang lebar soal renovasi ruang rapat Banggar yang mewah itu, bocah berusia 8 tahun bernama Muhamad Rifki asyik menyemir sepatu hitam dari kulit imitasi, milik seorang bapak bertumbuh tambun.

Seraya mata tertuju ke judul halaman depan koran dagangan kawannya yang bertajuk "Rp 20 miliar untuk renovasi dan impor kursi ruang banggar", Rifki bertanya, "Dua puluh miliar itu berapa sih?"

"Dua puluh miliar bisa untuk sekolah anak sekampung sampai mabok," jawab si pemilik sepatu hitam sekenanya.

Rifki adalah anak putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu membayar biaya pendidikan. Dia adalah satu dari jutaan anak putus sekolah di negeri ini. (*)

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2012