KPU menilai satu-satunya parameter penduduk adalah KTP, padahal tidak demikian.
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Pengkajian Strategis Kepesertaan dan Pemenangan (BPSKP) Partai Buruh Baca juga: Partai Buruh siap ikuti tahapan Pemilu 2024menyatakan partainya mempertanyakan beberapa regulasi dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang tidak adil.
Karena itu, menurut dia, Presiden Partai Buruh bersama sejumlah pengurus Komite Eksekutif atau Executive Committee (EXCO) Partai Buruh akan mendatangi Kantor KPU pada Kamis (9/6) untuk berdiskusi dengan anggota KPU terkait aturan pemilu.
"Dalam Peraturan KPU (PKPU) maupun dalam draf PKPU yang mengatur mengenai pendaftaran dan verifikasi, pada pokoknya ditentukan bahwa keanggotaan seseorang di suatu partai politik harus didasari pada alamat yang tertera pada KTP elektronik," kata Said di Jakarta, Rabu.
Aturan itu, menurut dia, dibuat terkait dengan adanya syarat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang menentukan partai politik wajib memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik tingkat kabupaten/kota.
Merujuk PKPU tersebut, dia menilai, seseorang yang alamat KTP-nya di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, hanya boleh terdaftar sebagai anggota pada kepengurusan partai di Kabupaten Semarang.
"Statusnya sebagai anggota partai tidak diakui bila dia terdaftar pada kepengurusan partai di kabupaten/kota yang lain di Indonesia. Ketentuan ini berlaku sekalipun faktualnya yang bersangkutan nyata-nyata berdomisili di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat," ujarnya.
Said mengatakan aturan tersebut bertentangan dan melanggar hak-hak sipil serta hak-hak politik warga negara sebagaimana telah dijamin oleh UUD 1945.
Dia mempertanyakan aturan tersebut karena untuk menjadi anggota parpol, masyarakat dibebani syarat harus beralamat sesuai dengan KTP.
"Sedangkan untuk menjadi calon pejabat negara seperti untuk menjadi caleg DPR RI atau DPD RI saja tidak ada kewajiban calon untuk bertempat tinggal sesuai dengan alamat KTP di daerah pemilihannya," katanya.
Menurut dia, KPU kurang tepat dalam menafsirkan makna “penduduk” yang dimaksud dalam UU Pemilu karena merujuk aturan tersebut, KPU menilai satu-satunya parameter penduduk adalah KTP, padahal tidak demikian.
Dia menegaskan bahwa definisi penduduk telah tegas diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia".
"Pengertian itu ditegaskan kembali dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan," katanya.
Merujuk pada pengertian konstitusi tersebut, menurut dia, tolok ukur penduduk yang sesungguhnya adalah tempat tinggal, bukan KTP. Menurut dia, tempat tinggal penduduk tidak selalu sama dengan yang tertera di KTP.
"Sudah jamak diketahui umum sehingga tidak perlu dibuktikan lagi (notoire feiten), secara faktual sangat banyak warga masyarakat, yang karena suatu keadaan terpaksa, harus bertempat tinggal atau berdomisili di alamat yang berbeda dengan yang tercantum di KTP," ujarnya.
Karena itu, menurut dia, Partai Buruh akan menanyakan kepada KPU, agar jangan sampai ketika masa verifikasi faktual keanggotaan, ada anggota partainya yang dicoret atau dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) karena alasan anggota bersangkutan terdaftar pada kepengurusan Partai Buruh di suatu kabupaten/kota yang berbeda alamat dengan KTP.
Baca juga: Partai Buruh sebut May Day Fiesta dorong perwujudan negara sejahtera
Baca juga: Partai Buruh usul Marsinah diberi gelar pahlawan nasional
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022