Pekanbaru (ANTARA News) - Menjadi warga yang selalu terpinggirkan di tanah berjuluk `provinsi kaya minyak`, membuat hati Josh Dowel dan Dani Suhlika, keduanya aktivis rakyat Riau, memberontak.
Itu pula kemudian yang mendorong dua pimpinan mahasiswa ini, atas nama rakyat Riau yang sudah lama mengeluh, untuk mendesak penghentian aksi `perampasan` tanah rakyat, atas nama investasi maupun pertumbuhan ekonomi.
Apalagi jika itu dilakukan oleh pengusaha-pengusaha asing maupun konglomerat hitam di seluruh wilayah `Bumi Lancang Kuning`, Provinsi Riau.
Itulah benang merah dari ungkapan hati nurani sejumlah aktivis dan pimpinan mahasiswa di Kota Pekanbaru, Riau, Jumat, merespons kesan masih kuatnya kolaborasi kaum kapitalis dengan kalangan birokrasi untuk menyingkirkan hak-hak rakyat di berbagai areal pertanahan.
"Pelaksanaan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 secara murni dan konsekuen harus dimulai, agar tanah-tanah tidak semakin dikuasai kaum kapitalis asing dan konglomerat `hitam`," tegas Josh Dowel, Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Kota Pekanbaru.
Secara terpisah, sebelumnya Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kota Pekanbaru, Dani Suhlika, mendesak pimpinan DPRD Riau, agar bersama-sama menekan Pemerintah (Daerah maupun Pusat) agar menyelesaikan persoalan agraria secara menyeluruh.
Kedua aktivis sekaligus pimpinan mahasiswa ini sepakat, dalam berbagai sengketa agraria, rakyat selalu dikorbankan.
Mereka juga menyatakan, seringkali rakyat di Riau menjadi pihak yang tak berdaya dalam setiap kali menghadapi sengketa agraria berhadapan dengan perusahaan-perusahaan besar.
Jika DPC GMNI Kota Pekanbaru mengeluarkan pernyataan politik merespons atas apa yang dinamakan mereka sebagai tindak `penghisapan` semena-mena atas rakyat, HMI Cabang Kota Pekanbaru pun tak mau kalau.
Dipimpin Dani Suhlika, para aktivis HMI Pekanbaru sempat berdemonstrasi dengan menduduki gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau, menuntut penyelesaian berbagai masalah kehutanan dan sengketa agraria.
HMI Pekanbaru mendesak pihak DPRD Riau, untuk mendesak Pemerintah menyelesaikan persoalan kehutanan secara menyeluruh.
Sementara itu, warga Pulau Padang, Kabupaten Meranti, Provinsi Riau, melalui koordinator aksinya, Binbin Firman Tresnadi dari Serikat Tani Nasional (STN), kepada ANTARA Riau mengecam keras sikap ingkar janji berulang dari pihak Kementerian Kehutanan (Kemenhut) RI untuk menuntaskan `pencaplokan` lahan rakyat di wilayahnya.
"Cara-cara ini jelas menunjukkan jajaran birokrasi kita menjadi `kacung` kapitalis. Namun kami masih sangat berharap, agar jajaran birokrasi pemerintahan di pusat dan daerah, jangan melupakan kepentingan rakyat," katanya.
Karena itulah, warga Pulau Padang kini tetap `menduduki` salah satu bagian di Komleks DPR RI, Senayan, sambil melakukan aksi `jahit mulut`.
"Kami akan tetap bertahan di kompleks DPR RI, Senayan, sambil terus mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan yang setuju pencabutan Surat Keputusan Menhut Nomor 327, atau penghentian operasional PT RAPP di Pulau Padang," tandasnya.
Dalam hal ini, lanjutnya, mengkonsolidasikan pihak-pihak dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, DPR RI dan Dinas Kehutanan (Diskut) Provinsi Riau, juga dari lain-lainnya, untuk menolak SK Menhut tersebut.
"Kami berharap, Sukanto Tanoto yang merupakan orang nomor tujuh terkaya di Indonesia versi Forbes, yang merupakan pemilik PT RAPP, agar sadar dirilah. Anda sudah sangat kaya. Berilah kesempatan kepada rakyat untuk menikmati kehidupannya secara layak," tuturnya.
Sedangkan kepada jajaran birokrasi pemerintahan, ia sangat berharap agar mulailah lebih peduli kepada kepentingan rakyat yang memberi amanat kepada mereka untuk memimpin negeri ini.
"Persoalannya, dengan rentetan kejadian belakangan ini, termasuk kurang atensinya birokrasi pemerintahan terhadap rakyat, kendati sudah melakukan aksi jahit mulut di kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, sulit memang memperoleh kepedulian itu," ujarnya.
Binbin malah berkeyakinan, bukan hanya jajaran birokrasi pemerintahan di daerah yang sudah sering mendapat `sesuatu` dari Sukanto Tanoto, tetapi juga Kementerian Kehutanan.
"Karenanya, mereka pasang badan untuk PT RAPP," tandasnya lagi.
Menyerobot Hutan Rakyat
Sementara itu, sembari berorasi di Kompleks DPRD Provinsi Riau, Deni Suhlika juga menyatakan, berbagai kasus kehutanan dan sengketa agraria di Riau sering menempatkan perusahaan besar serta rakyat dalam posisi berlawanan.
Ketika itu terjadi, demikian Deni, acap kali berujung pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan menempatkan masyarakat tempatan sebagai korban.
"Parahnya lagi, banyak perusahaan besar melakukan pelanggaran HAM dengan memperalat oknum Polisi dan TNI," ungkapnya.
Deni mencontohkan, kasus penembakan warga Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) dalam aksi demonstrasi melawan keberadaan PT Tri Bhakti Sarimas (TBS).
Itu dinilai HMI sebagai bentuk keberpihakan aparat kepolisian yang terkesan melindungi kepentingan pengusaha dari pada mengayomi masyarakat.
Deni Suhlika menyatakan pula, banyak perusahaan besar seperti PT `Riau Andalan Pulp and Paper` (RAPP), `Indah Kiat Pulp and Paper` (IKPP) Sinar Mas, Duta Palma, Musim Mas, Tri Bhakti Sari Mas sering kali menyerobot tanah hutan rakyat.
"Bohong kalau perusahaan-perusahaan itu mensejahterakan rakyat. Mereka hanya mengambil untung dan menyisakan masalah di Riau," tegasnya.
Penutupan dan pencabutan izin perusahaan-perusahaan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat tempatan itu dikatakan Deni sebagai harga mati.
"Tidak ada manfaatnya mereka ada di sini," kata Deni.
Selain itu, ia juga meminta kepolisian melakukan pengusutan tuntas terhadap kasus pelanggaran HAM di wilayah-wilayah yang mengalami konflik agraria, termasuk Riau.
Kembalikan `Blok Siak`
Sementara itu, para aktivis mahasiswa GMNI dan sejumlah penggiat LSM di Pekanbaru sepakat memperjuangkan agar Pemerintah RI memprioritaskan pengelolaan ladang minyak di "Blok Siak" dapat dilakukan atau dinikmati orang Riau itu sendiri.
"Kami ingatkan Pemerintah Provinsi Riau dan Kementrian ESDM agar jangan mau jadi `kacung` investor asing, tetapi lebih mengutamakan kepentingan domestik, khususnya Orang Riau terkait pengelolaan Blok Siak mulai 2013," tegas Josh Dowel.
Bagi GMNI Kota Pekanbaru, menyongsong berakhirnya masa kontrak PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dalam pengelolaan `Blok Siak` tahun 2013, merupakan momentum mengembalikan hak-hak rakyat Riau.
"Karenanya, kami mengajak semua komponen dan elemen bersatu merebut kembali ladang minyak tersebut," ujar seorang aktivis LSM Peduli Migas Nusantara, Karyono Wibowo, yang mendukung pernyataan Josh Dowel tersebut.
Keduanya juga senada dengan kesimpulan, mendapatkan kembali `Blok Siak` pada 2013 seharusnya menjadi momentum ke-3 bagi Provinsi Riau untuk memperjuangkan hak pengelolahan ladang minyak.
"Jangan jatuh lagi ke pihak asing. Pemerintah mesti lebih memprioritaskan kepentingan nasional, jangan semua energi serta kekayaan alam Indonesia diserahkan pengelolaannya kepada pihak asing," tegas Karyono.
Keduanya mengemukakan ini, mengkritisi pernyataan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengisyaratkan bakal mempertahankan PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) untuk mengelola Blok Siak, Riau, setelah kontraknya berakhir 2013.
Hal itu dikatakan Kepala Dinas Humas dan Kelembagaan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), Budi Handoko, yang mengungkapkan, Chevron kemungkinan akan dipertahankan.
Karena, menurut sang birokrat, blok ini tak bisa begitu saja dilepas dengan pertimbangan telah banyak memberi kontribusi dalam pengelolaan Blok Siak.
Sebagaimana diketahui, Kontrak Bagi Hasil (`production sharing contract`) --Chevron, dahulu masih bernama Caltex--, di Blok Siak, diteken tahun 1991 selama 22 tahun dan berakhir 2013.
Sebelumnya, pengelolaan blok itu menggunakan sistem Kontrak Karya yang diteken pada September 1963.
Tolak Dikelola Chevron
Sementara itu, Sekretaris DPC GMNI Kota Pekanbaru, Royan Suryasepta, mengatakan, `Blok Siak` merupakan salah satu ladang minyak produktif dengan kapasitas produksi 2.000 barel per hari.
Ia dan Josh Dowel menambahkan, keberhasilan perjuangan para pemimpin beserta segenap elemen masyarakat Riau mendapatkan hak mengelola ladang minyak telah pernah termanifestasikan pada pengelolahan `Blok CPP` tahun 2008.
"Kita sudah punya pengalaman baik, yakni melalui pembentukan Badan Operasi Bersama (BOB) antara Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Bumi Siak Pusako dan Pertamina Hulu untuk mengelola ladang minyak itu (`Blok CPP`)," paparnya.
Royan Suyasepta kemudian mengungkapkan lagi pengalaman berikutnya mengelola `Blok Langgak` (2010) melalui BUMD PT Sarana Pembangunan Riau.
"Pengalaman mendapatkan hak pengelolahan ladang minyak ke-2 BUMD tersebut dapat dijadikan modal utama dalam memperjuangkan `Blok Siak` dan blok lainnya," katanya lagi.
Menyikapi kondisi terkini, DPC GMNI Kota Pekanbaru telah pernah mengeluarkan tujuh sikap politiknya, yang pada intinya menolak ladang minyak `Blok Siak` itu kembali jatuh ke tangan pengusaha asing.
"Tegasnya, sikap politik kami, pertama, mengajak semua elemen bangsa untuk bersatu mempertahankan eksitensi bangsa Indonesia melalui pengelolahan sumberdaya alam (SDA) secara mandiri untuk kesejahteraan masyarakat daerah dan Indonesia sebagaimana diamanahkan pada pasal 33 UUD 1945," katanya.
Kedua, lanjutnya, mengajak semua elemen masyarakat, tokoh masyarakat dan pemimpin di seluruh Riau untuk dapat berjuang merebut kembali hak pengelolahan ladang minyak PT CPI yang akan berakhir masa kontraknya di Propinsi Riau.
Kemudian, ketiga, menurutnya, mendukung setiap upaya `damai` melalui perundingan-perundingan yang dilakukan seluruh elemen masyarakat maupun Pemerintah Daerah Riau kepada Pemerintah Pusat menuju pada pengelolahan ladang minyak `Blok Siak` oleh BUMD Riau ketika berakhirnya masa kontrak PT CPI.
Keempat, demikian Josh dan Royan, memperjuangkan untuk memperoleh `Blok Siak` (dengan produksi 2.000 barel per hari), mempunyai makna strategis sebagai langkah penting mendapatkan ladang minyak lebih besar produksinya, yaitu `Blok Rokan` (370.000 barel per hari).
Lalu kelima, menurutnya, DPC GMNI Pekanbaru mendukung upaya-upaya untuk bersinergi dalam pengelolahan ladang minyak antara BUMD dan BUMN yang berkempoten di sektor migas.
"Keenam, kami menolak pengelolahan ladang minyak `Blok Siak` dan ladang minyak lainnya yang akan berakhir kontraknya untuk dilakukan oleh pihak asing," tandasnya.
Sementara yang ketujuh, ujarnya, sejarah keberhasilan merebut `Blok CPP` dan `Blok Langggak` yang kini dikelola BUMD Riau, dipandang perlu dibangkitkan serta terus digelorakan.
"Terutama untuk merebut hak pengelolahan ladang-ladang minyak yang berada di Riau, tetapi mayoritas dikuasai oleh Grup Chevron," tegasnya.
Dikatakan GMNI, keberhasilan merebut hak pengelolahan ladang minyak itu sehingga jatuh ke `tangan sendiri`, jangan membuat semua elemen di Provinsi Riau menjadi terlena.
"Namun kepada ke-2 BUMD yang sudah punya pengalaman mengelola ladang minyak tersebut tergantung harapan untuk dapat memberikan sumbangsihnya melalui peningkatan hasil produksinya.
Artinya, demikian Josh Dowel, walau baru `seumur jagung`, semangat untuk memberikan kesejahteraan melalui sektor minyak dan gas (Migas) kepada Riau dan Negara Indonesia, perlu terus ditingkatkan, melalui peningkatan kemampuan profesional.
"Dengan demikian, semua ini akan berdampak nyata pada upaya semakin dahsyat dalam mengelola secara mandiri seluruh potensi kekayaan alam anugerah Tuhan kepada Bumi Nusantara, termasuk di `Bumi Lancang Kuning` Riau," kata Josh Dowel dkk.
Chevron Ajukan Proposal
Sementara itu, saat ini diketahui pihak Chevron telah memasukan proposal kepada Kementerian ESDM untuk bisa memperpanjang operasi di Blok Siak sejak tahun 2011.
Selain itu, sejumlah kontraktor minyak nasional dan perusahaan daerah juga dikabarkan meminati blok itu.
Tapi, menurut Kepala Dinas Humas dan Kelembagaan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), Budi Handoko, semua keputusan ada di tangan Menteri ESDM, bahkan proses lelang Blok Siak juga belum dilakukan.
Meski begitu, ia mengatakan kepada ANTARA, pemerintah juga berkomitmen untuk membuka kesempatan seluas-luasnya bagi kontraktor minyak nasional maupun dari daerah untuk ikut mengelola Blok Siak.
Ia menambahkan, maunya ada kolaborasi untuk pengelolaan Blok Siak, tapi bentuknya apa nantinya, dia belum tahu pasti.
Pada prinsipnya, menurutnya, pemerintah tidak ingin mengulangi kesalahan yang terjadi di blok "West Madura Offshore".
Produksi minyak blok Madura, yang diambil alih Pertamina dari `China National Offshore Oil Company` (CNOOC) dan `Kodeco Energy` kini turun drastis pada tahun 2011.
Budi Handoko berharap, jangan sampai terulang kesalahan blok Madura terjadi di Riau.
Data terkini menyebutkan, produksi minyak Blok Siak mencapai 2.000 `barrel oil per day` (BPOD) atau sekitar 300.000 liter minyak per hari.
Tolak `Raja Tanah`
Lain lagi sikap Binbin Firman Tresnadi yang bersama-sama warga Pulau Padang dalam aksi `jahit mulut` di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta.
Ia menyatakan, para petani yang kini bersama-sama dia di Jakarta, tetap bertekad sampai kapan pun menegakkan pasal 33 Undang Undang Dasar 1945.
"Kini sudah lebih dari 31 hari kami melakukan aksi penolakan atas SK Menhut yang jelas-jelas merampas hak-hak rakyat banyak," katanya.
Dikatakan, rakyat Pulau Padang pun sudah lama sekali mengeluh atas ulah pihak tertentu yang seolah bersikap seperti `raja tanah` di wilayah Riau.
"Tengok saja dengan gampangnya PT RAPP dapat lahan seluas hampir 30 ribu Hektar di Pulau Padang, sementara rakyat untuk dapat 0,5 Hektar saja sangat sulit dan dipersulit," tuturnya.
Ditegaskannya, saatnya kini seluruh rakyat menolak kehadiran para `raja tanah` yang mencaplok hak-hak warga asli Indonesia.
Sementara itu di Pekanbaru, diberitakan, kalangan industri berharap konflik antara perusahaan industri kehutanan dan sebagian warga di Pulau Padang bisa segera dicarikan solusi yang terbaik.
Direktur Eksekutif Kamar Dagang dan Indusgtri (Kadin) Provinsi Riau, M Herwan, mengatakan pula, agar hal ini tidak berlarut-larut, karena telah mengganggu iklim investasi di provinsi tersebut.
"Secara langsung maupun tidak langsung, konflik di Pulau Padang Kepulauan Meranti, Riau, akan berdampak buruk terhadap iklim investasi di Riau," katanya.
Terhadap hal ini, Sekretaris DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Pekanbaru menyatakan, pemerintah dan dunia usaha jangan terkesan lebih pro kaum kapitalis, ketimbang membela kepentingan rakyat sendiri.
"Jangan suka berkoar-koar atasnama investasi, lalu kepentingan rakyat dikorbankan terus. Jangan pula `mengkambinghitamkan` rakyat, jika nilai investasi merosot. Sangat naif yang begini," tandasnya.
Secara terpisah, Asisten Manager Media Relation RAPP, Salomo Sitohang, mengakui, sejatinya konsep hutan tanaman industri PT RAPP di Pulau Padang, ialah sebagai zona penyangga (`buffer zone`).
Intinya, menurutnya, berupa konsep cincin (`ring`) yang melindungi area inti kawasan lindung dari perambahan liar.
Alokasi operasi RAPP untuk tanaman pokok di Pulau Padang, ungkapnya, hanya 25,6 persen atau sekitar 27.375 Hektare dari total luas Pulau Padang sekitar 110.000 ha.
"Ini bukti, berapa hektar diberi begitu saja kepada kaum kapitalis. Catat, ada 27 ribu-an. Sementara rakyat petani dan warga di pedesaan kita, untuk mendapatkan 0,5 Hektar tanah saja sulitnya bukan main. Ini tidak adil dan harus diluruskan," tegas Binbin Firman Tresnadi.
Dari catatan yang ada pada sejumlah aktivis pembela kepentingan warga Meranti menunjukkan, masyarakat setempat hanya disisakan lahan untuk tanaman unggulan 4.121 Hektar, tanaman kehidupan 1.904 Hektar, infrastruktur 808 Hektar dan areal tidak produktif 2.895 Hektar.
"Melihat beragam kasus dan sikap kolobaratif kapitalis birokrat (Kabir), agaknya keluhan rakyat tak berarti apa-apa lagi. Makanya, saatnya sekarang kita bergerak, atas nama hatinurani rakyat, demi kejayaan Indonesia. Ayo, stop perampasan tanah rakyat di Riau dan di seluruh Nusantara," kata Josh Dowel. (M036)
Oleh Manuel Jeffrey Rawis
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2012
Kalau UU pokok Agraria di jalankan, maka tanah-tanah ulayat itu harus dibagi-bagikan ke pada kaum se kampung. Nyatanya oleh para Batin atau Datuk, tanah itu dijualnya ke pejabat-pejabat dan siapa saja yang mau beli (termasuk perusahaan)