"Hal itu bisa dilihat dari perilaku oknum penghamba kekuasaan di eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang rela mengeluarkan dana atau mengorbankan apa pun termasuk harga diri untuk menggapai kekuasaan," katanya di Yogyakarta, Kamis.
Dengan kekuasaan sebagai industri, menurut dia, yang diproduksi atau dihasilkan adalah keuntungan. Untuk memperoleh keuntungan harus berpihak pada yang kuat atau kaya, dan hal itu merupakan produk dari kapitalisme kekuasaan.
"Oleh karena itu, perguruan tinggi harus menyuarakan nurani `silent majority` tersebut, tidak hanya berkutat dengan dunia akademik yang tersandera pada internal sehingga lupa pada persoalan bangsa di sekelilingnya," katanya.
Ia mengatakan, perguruan tinggi harus berani menyuarakan bahwa keadilan adalah untuk semua orang, dari rakyat jelata sampai presiden.
"Perguruan tinggi sebagai lembaga pencetak inetelektual yang berkepribadian Pancasila harus berada pada garda depan menegakkan nurani kebenaran dan keadilan," kata Edy.
Oleh karena itu, menurut dia, perguruan tinggi tidak boleh tidur ketika melihat nurani rakyat terkoyak karena hilangnya rasa keadilan.
Ia mengatakan, hal itu tercermin dari keberpihakan yang nyata dalam penegakan hukum yang bias kepada pemilik uang atau kekuasaan.
Contohnya, kasus Mesuji, Bima, sandal jepit, pisang Cilacap, Amar Abdullah yang menjadi buta karena dianiaya tetapi harus mendekam di penjara, dan kecurigaan kakak beradik yang tewas di penjara Polsek Sijunjung.
"Hal itu mencerminkan hukum seolah hanya untuk `si kecil`, kaum miskin, dhuafa atau mereka yang kurang terdidik," kata Edy.
(L.B015*H010/B/N002)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2012