Dalam kasus pertanahan di Sumbar, LBH melihat, terjadinya sengketa disebabkan ada dua perspektif berbeda antara masyarakat (kaum adat) dengan pihak pemerintah, dimana masyarakat memakai hukum adat, sedangkan pemerintah berpedoman pada Undang-undang P

Padang (ANTARA News) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) cabang Padang, Sumatera Barat, menyatakan, konflik pertanahan, banyak disebabkan adanya perbedaan perspektif hukum negara dan adat, terutama di daerah itu.

Staf Divisi Pendampingan Kasus dan Paralegal LBH Padang Era Purnama Sari, di Padang, Kamis, mengatakan, konflik pertanahan merupakan kasus umum terjadi di Sumbar, dan disebabkan adanya perbedaan perspektif antara hukum adat dengan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 65 tahun 2006 tentang tanah ulayat untuk kepentingan umum.

"Dalam kasus pertanahan di Sumbar, LBH melihat, terjadinya sengketa disebabkan ada dua perspektif berbeda antara masyarakat (kaum adat) dengan pihak pemerintah, dimana masyarakat memakai hukum adat, sedangkan pemerintah berpedoman pada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960, tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, yang kemudian dijabarkan juga dalam Perpres nomor 65 tahun 2006 tentang tanah ulayat untuk kepentingan umum," kata Era.

Ia menambahkan, konflik pertanahan itu biasanya muncul saat masuk pihak ke tiga, dimana saat pelepasan tanah untuk Hak Guna Usaha (HGU) ataupun Hak Guna Bangunan (HGB) berdasarkan perspektif pemerintahan menjadi tanah negara. Namun berdasarkan perspektif adat, setelah jangka waktu tertentu tanah tersebut kembali kepada kaum.

Berdasarkan data LBH Padang tahun 2011, di Sumbar tercatat ada sembilan kasus pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan pihak ketiga, seperti perusahaan, pertambangan, perkebunan, maupun pemerintahan.

Pihak pemerintah yang menjadi fasilitator pelepasan tanah kaum untuk HGB atau HGU dengan pedoman peraturan yang ada kemudian menyatakan tanah itu menjadi milik negara, namun tidak demikian dengan kaum adat di Sumbar, sehingga konflik pertanahan itu selalu muncul.

Sehubungan dengan itu, di Sumbar sendiri juga telah ada peraturan daerah (Perda) nomor 6 tahun 2008 tentang tanah ulayat dan pemanfaatannya, yang secara spesifik mengatakan bahwa tujuan pengaturan tanah ulayat dan pemanfaatannya adalah untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat Minangkabau serta mengambil manfaat dari tanah termasuk sumber sumber daya alam, untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya secara turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan.

Berdasarkan adanya perspektif yang berbeda antara masyarakat adat dan pemerintah tentang pertanahan tersebut, LBH Padang menghimbau agar pemerintah dapat mengakomodasi dua perspektif yang berbeda tersebut, agar tidak terjadi konflik pertanahan seperti yang terjadi di daerah lainnya di Indonesia.

"Sumbar memiliki Perda Tanah Ulayat yang tidak dijalankan, sekarang hanya berpatokan pada undang-undang formil, seperti ex: UU agraria nomor 5 tahun 1960, dan disana ada pertentangan antara keduanya, seperti yang menyatakan HGU ada di atas tanah negara, dalam jangka waktu tertentu, setelah HGU habis maka tanah itu kembali kebentuk semula, dalam hal ini kembali ke pemerintah, namun jika dibawakan ke Sumbar itu hal yang berbeda, sebab di Sumbar ada hukum adat, dan tanah ulayat adalah milik kaum," jelas Era.

Era menambahkan, solusi yang harus dicari pemerintah adalah dengan memberikan komisi pada pada masyarakat atas ganti rugi tanah dengan persetujuan seluruh kaum, tidak hanya orang tertentu, dan terkait perizinan HGU ataupun HGB juga harus ditinjau ulang.

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2012