Bojonegoro (ANTARA News) - Kenaikan imbalan jasa pengambilan minyak mentah (crude oil) dari sumur tua warisan Belanda di Desa Wonocolo, Hargomulyo dan Mbeji, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, yang sempat tertunda, akhirnya disepakati sebesar Rp59,05 per liter. Kenaikan imbalan jasa sebesar Rp59,05/liter, dari semula Rp295,74 menjadi Rp354,79/liter tersebut, diperhitungkan sejak hasil penambangan per 1 Januari 2006, kata Zaenuri, Ketua KUD Bogo Sasono--mitra usaha Pertamina--, kepada ANTARA di Bojonegoro, Minggu. "KUD Bogo Sasono yang membawahi para penambang dan Pertamina Cepu sudah sepakat, kami juga sudah mengajukan pengambilan uang kenaikan imbalan jasa minyak mentah itu," katanya. Dijelaskan, dalam pertemuan KUD Bogo Sasono dengan Pertamina DOH (Daerah Operasi Hulu) Jawa Bagian Timur di Cepu, diusulkan kenaikan imbalan jasa per liternya sebesar Rp62,97. Namun pihak Pertamina merasa keberatan dan setelah melalui serangkaian pembahasan serta didasarkan berbagai pertimbangan, pihak penambang akhirnya bersikap menerima terlebih dahulu kenaikan imbalan jasa sebesar Rp59,05/liter. "Setelah melalui pertimbangan dengan berbagai pihak, mulai dari para penambang hingga Bupati Bojonegoro, H.M. Santoso, kenaikan imbalan jasa kami terima dulu sebesar Rp59,05/liter," ucapnya. Menurut Zaenuri, menyusul persetujuan kenaikan imbalan jasa yang disetujui KUD Bogo Sasono selaku kontraktor yang membawahi para penambang dengan pihak Pertamina, pembagian imbalan jasa tersebut ditetapkan melalui SK Bupati Bojonegoro. "SK Bupati Bojonegoro soal pembagian imbalan jasa itu sudah turun dan penambang mendapatkan bagian Rp146,57/liter," kata Zaenuri tanpa menyebutkan nomor SK Bupati Bojonegoro tersebut. Berdasarkan SK Bupati Bojonegoro, pembagian imbalan jasa per liter menjadi Rp356,79, yakni dibagi untuk "fee" KUD Bogo Sasono, upah penambang, dana pembangunan daerah, dana pembangunan desa, dan sewa tempat penampungan minyak. Dengan kenaikan imbalan jasa tersebut, sejak Minggu (5/3) sekitar 48 sumur minyak di tiga desa tersebut kembali mulai berproduksi. Sebelumnya para pemilik sumur dan penambang menghentikan usahanya, dengan pertimbangan perolehan imbalan jasa tak sebanding dengan biaya produksi yang terus naik. Ibrahim Prawirajaya, pemilik tiga sumur minyak di Desa Mbeji, mengakui sejak kenaikan harga BBM, 1 Oktober 2005, ketiga sumurnya tidak dioperasikan. Alasannya, biaya produksi tiga sumur tersebut mencapai Rp4 juta, baik untuk pembelian solar, membayar kuli angkut, hingga kebutuhan membayar upah para penambang. Tetapi penghasilan bersihnya tidak lebih dari Rp3 juta. "Sekarang saya coba berproduksi lagi, kalau nanti hasilnya tetap tidak menguntungkan, lebih baik ya berhenti produksi," katanya. Direktur Ekonomi LSM Winner Centre Bojonegoro, Zainul Abidin mengatakan, kalau diperhitungkan upah penambang per liter Rp354,79,--perhitungan per barrelnya (per barrel 159 liter X Rp354,79)--, mencapai sebesar Rp56.411,61. "Bandingkan dengan harga minyak dunia sekarang per barrel mencapai 60 dollar AS, sedangkan upah minyak mentah di Bojonegoro tidak lebih enam dollar AS per barrel," katanya. Menurut Zaenuri, setelah kenaikan harga BBM tidak sepantasnya kenaikan imbalan jasa para penambang demikian rendah, sementara Pertamina mendapatkan keuntungan cukup besar dari hasil penambangan minyak mentah tradisionil di Bojonegoro yang sejarahnya dulu peninggalan Belanda, bukan hasil eksplorasi Pertamina. "Yang perlu dipertanyakan kemana larinya hasil produksi minyak mentah di Bojonegoro itu," ucapnya.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006