... bangsa dengan cakupan imunisasi lebih tinggi justru lebih kuat. Jadi terbukti bahwa imunisasi justru memperkuat kekebalan terhadap penyakit infeksi, bukan melemahkan...

Jakarta (ANTARA News) - Tiap bayi dan balita secara ideal memerlukan asupan makanan yang pas untuk mereka. Alam sudah mengatur bahwa makanan yang pas itu adalah air susu ibu (ASI) eksklusif walau perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan juga melahirkan produk-produk makanan pendamping ASI dengan gizi lengkap dan seimbang.

Di dalam ASI, bukan cuma terkandung substansi gizi belaka melainkan ada substansi sangat penting bagi balita. Ada antibodi spesifik yang efektif mencegah penularan penyakit dari luar tubuh bayi dan balita itu. Akan tetapi tidak semua balita mendapat kemewahan ASI eksklusif atas dasar sejumlah alasan.

Karena itulah imunisasi diperlukan, empat hingga enam pekan setelah diimunisasi, akan tercipta antibodi spesifik untuk mencegah penularan penyakit itu.

Bahwa vaksinasi dalam program imunisasi itu aman bagi bayi dan balita, hal itu telah lama diketahui. Saat ini 194 negara terus melakukan vaksinasi untuk bayi dan balita. Badan resmi yang meneliti dan mengawasi vaksin di negara-negara itu, umumnya terdiri dari dokter ahli penyakit infeksi, imunologi, mikrobiologi, farmakologi, epidemiologi, biostatistika, dan sebagainya.

Sampai saat ini tidak ada negara yang melarang vaksinasi, justru semua negara berusaha meningkatkan cakupan imunisasi lebih dari 90 persen. Jadi, kalau dikatakan imunisasi berbahaya bagi bayi dan balita, itu tidak tepat karena yang menyatakan hal itu bukan ahli vaksin, melainkan ahli statistik, psikolog, homeopati, bakteriologi, sarjana hukum, dan lain-lain. Kebanyakan memakai data dan fakta yang sudah kedaluwarsa.

Deretan nama-nama ahli ini bukanlah dari kalangan ahli vaksin. Dr Bernard Greenberg (biostatistika tahun 1950), DR Bernard Rimland (ahli psikologi), Dr William Hay (kolumnis), Dr Richard Moskowitz (ahli homeopatik), dr Harris Coulter, PhD (penulis buku homeopatik, kanker), Neil Z Miller (ahli psikologi dan jurnalis), WB Clark (awal 1950), Bernice Eddy (ahli bakteriologi 1954), Robert F Kennedy Jr (sarjana hukum), dan Dr WB Clarke (ahli kanker, 1950an).

Sempat ada anggapan bahwa terdapat substansi yang merusak otak di dalam vaksin. Jumlah total etil merkuri yang masuk ke tubuh bayi melalui vaksin sekitar dua mcg/kgbb/pekan; sedangkan batas aman menurut WHO jauh lebih banyak (159 mcg/kgbb/pekan).

Oleh karena itu vaksin yang mengandung merkuri dosis sangat rendah dinyatakan aman oleh WHO dan badan-badan pengawasan lainnya.

Yang sensitif bagi banyak negara dan masyarakat adalah anggapan bahwa vaksin mengandung lemak babi. Tidak benar, karena hanya sebagian kecil dari vaksin yang pernah bersinggungan dengan tripsin pada proses pengembangan maupun pembuatannya seperti vaksin polio dan meningitis.

Pada vaksin meningitis, pada proses penyemaian induk bibit vaksin tertentu 15–20 tahun lalu, ketika panen bibit vaksin tersebut bersinggungan dengan tripsin dari pankreas babi untuk melepaskan induk vaksin dari persemaiannya. Tetapi kemudian induk bibit vaksin tersebut dicuci dan dibersihkan total, sehingga pada vaksin yang disuntikan tidak mengandung tripsin babi.

Atas dasar itu menurut Majelis Ulama Indonesia, vaksin itu boleh dipakai selama belum ada penggantinya. Contohnya adalah vaksin meningokokus (meningitis) haji yang diwajibkan pemerintah Arab Saudi bagi semua jemaah haji untuk mencegah radang otak karena meningokokus.

Indonesia memiliki industri pembuat vaksin. Perusahaan itu PT Bio Farma Bandung (Persero), satu BUMN, dengan 98,6 persen karyawannya adalah muslimin dan muslimah. Proses penelitian dan pembuatannya mendapat pengawasan ketat dari ahli-ahli vaksin di BPOM dan WHO. Vaksin-vaksin tersebut juga dieksport ke 120 negara, termasuk 36 negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, seperti Iran dan Mesir.

Tujuan program imunisasi adalah menciptakan masyarakat yang sehat dan kuat. Imunisasi saat ini dilakukan di 194 negara, termasuk negara-negara maju dengan status sosial ekonomi tinggi, dan negara-negara yang berpenduduk mayoritas bukan muslim. Kalau imunisasi bisa melemahkan bangsa, maka mereka juga akan lemah, karena mereka juga melakukan program imunisasi, bahkan lebih dulu dengan jenis vaksin lebih banyak.

Faktanya, bangsa dengan cakupan imunisasi lebih tinggi justru lebih kuat. Jadi terbukti bahwa imunisasi justru memperkuat kekebalan terhadap penyakit infeksi, bukan melemahkan. (ANT)

(*) Ketua III Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia 2002-2008, Sekretaris Satgas Imunisasi PP IDAI,
Dokter Spesialis Anak Konsultan Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial, Magister Sains Psikologi Perkembangan.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2012