Nilai ekuitas Asia terlihat menarik dibandingkan dengan pasar negara maju
Bengaluru (ANTARA) - Valuasi ekuitas Asia turun ke level terendah lebih dari dua tahun pada akhir Mei, karena saham regional dilanda kekhawatiran atas langkah-langkah pengetatan moneter oleh bank-bank sentral utama dan gangguan rantai pasokan.
Rasio price-to-earnings (P/E) - rasio yang digunakan untuk menilai mahal murahnya saham berdasarkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih - 12 bulan indeks MSCI Asia-Pasifik berada di 12,6 pada akhir bulan lalu, terendah sejak Maret 2020, menurut data Refinitiv.
Saham regional menghadapi penurunan yang lebih besar tahun ini, karena tingkat inflasi yang lebih tinggi memicu kekhawatiran resesi dan penguncian di China mendorong produsen di negara-negara mulai dari Jepang hingga Korea Selatan memperlambat aktivitas produksi.
Data menunjukkan P/E indeks MSCI Dunia berdiri di 15,3 pada akhir bulan lalu, mendorong premi penilaiannya di atas MSCI Asia-Pasifik menjadi 21 persen, jauh lebih tinggi dari rata-rata 10 tahun sebesar 14,8 persen.
"Nilai ekuitas Asia terlihat menarik dibandingkan dengan pasar negara maju," kata Zhikai Chen, kepala ekuitas Asia di BNP Paribas Asset Management, dikutip dari Reuters.
"Kami terus mendukung perusahaan-perusahaan berkualitas tinggi dengan utang rendah, yang mampu menghasilkan keuntungan berkelanjutan dengan profil ESG (Environmental Social Governance) yang baik atau yang lebih baik."
Dari segi wilayah, ekuitas negara-negara Asia Utara diperdagangkan dengan valuasi yang jauh lebih murah, dibandingkan dengan rekan-rekannya di Asia Selatan.
Rasio P/E dari ekuitas China dan Korea Selatan masing-masing sekitar 9,4, sedangkan Hong Kong adalah 9,9.
Di sisi lain, Thailand dan Indonesia memiliki rasio P/E yang lebih tinggi masing-masing sebesar 15,7 dan 15.
"Asia Tenggara diperkirakan akan memberikan pertumbuhan pendapatan yang unggul daripada rekan-rekan Asia Utara karena mendapat manfaat dari pemulihan pascapandemi, harga-harga komoditas yang lebih tinggi dan bank-bank sentral yang masih relatif akomodatif," kata Chen dari BNP Paribas.
Para analis telah meningkatkan laba ke depan pada perusahaan-perusahaan Indonesia dan Singapura masing-masing sebesar 2,3 persen dan 1,0 persen, dalam sebulan terakhir, data menunjukkan.
Ekuitas India menempati posisi teratas di kawasan ini dalam hal kelipatan penilaian, dengan rasio P/E 19, meskipun ada kekhawatiran atas inflasi yang lebih tinggi dan lonjakan harga minyak.
"Kami pikir ada risiko kenaikan imbal hasil pada tekanan inflasi yang berkelanjutan dan kontraksi neraca Fed," kata Nomura dalam sebuah laporan.
"Secara historis, ada korelasi moderat antara imbal hasil dan kelipatan penilaian (ekuitas India) dan koreksi ke 16-18 kali tetap menjadi kemungkinan."
Baca juga: Wall Street naik ditopang saham pertumbuhan, inflasi tetap jadi fokus
Baca juga: Dolar menguat karena selera risiko memudar, data inflasi diawasi
Baca juga: Saham Jerman berbalik menguat, indeks DAX 40 bangkit 1,34 persen
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022