"Ombudsman RI telah melakukan kajian sistemis mengenai tinjauan terhadap reformasi agraria dalam penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah," kata Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih di Jakarta, Selasa.
Kajian sistemis tersebut, katanya, merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan menghimpun data, keterangan, dan masukan dari sejumlah pihak, baik dari institusi penyelenggara pusat maupun daerah.
"Tidak terkecuali data, informasi, dan keterangan juga diperoleh dari pakar, masyarakat, baik secara langsung ataupun melalui data laporan yang disampaikan kepada Ombudsman RI," tambahnya.
Dengan adanya kajian sistemis itu, lanjutnya, Ombudsman dapat berkontribusi agar pelayanan publik yang diselenggarakan dapat berjalan baik serta hak atas layanan publik berkualitas bagi masyarakat dapat terpenuhi.
"Dan di sisi lain, sebagai bentuk upaya bersama Ombudsman untuk mencegah terjadinya malaadministrasi di masa yang akan datang," katanya.
Baca juga: KSP: Kepastian hak tanah tingkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir
Sementara itu, Anggota Ombudsman RI Dadan S. Suharmawijaya menjelaskan pelayanan publik di bidang pertanahan belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat. Salah satunya, tambahnya, terlihat dari jumlah laporan masyarakat ke Ombudsman RI yang cukup tinggi hingga 1.612 laporan pada 2021.
"Jumlah tersebut adalah jumlah tertinggi laporan yang pernah diterima Ombudsman RI berdasarkan jenis atau substansi yang dilaporkan," jelas Dadan.
Materi laporan terkait pertanahan tersebut juga beragam dan cenderung tidak sekadar administrasi pelayanan, melainkan bergeser pada pokok permasalahan yang lebih kompleks dan berdimensi konflik, katanya. Dalam sejumlah laporan masyarakat, terlihat adanya keterkaitan antara konflik agraria dengan pelayanan administrasi pertanahan.
Dia mengatakan hasil temuan Ombudsman terhadap implementasi reformasi agraria dalam penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah antara lain regulasi atau kebijakan penyelesaian konflik agraria yang tidak komprehensif.
Selain itu, belum adanya skema layanan administrasi dalam penentuan subjek dan objek tanah objek reformasi agraria (TORA) dan belum optimalnya penyelesaian konflik agraria berkaitan dengan aset negara, aset BUMN/kekayaan negara yang dipisahkan dan kawasan hutan.
Kemudian, Ombudsman juga menemukan keterbatasan kewenangan gugus tugas reformasi agraria (GTRA) dalam penyelesaian konflik agraria, belum adanya resolusi konflik dalam kerangka reformasi agraria, lemahnya koordinasi antar instansi, serta belum ada indikator keberhasilan penyelesaian konflik reformasi agraria.
Baca juga: KSP upayakan sertifikasi tanah warga pesisir dan pulau kecil tuntas
Baca juga: KSP gandeng NU percepat reformasi agraria dan perhutanan sosial
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022