Banjarnegara (ANTARA) - Mungkin hingga saat ini masih ada masyarakat yang menganggap ketela pohon atau singkong (Manihot esculenta) sebagai makanan orang pinggiran atau kaum marginal dan dijadikan sebagai camilan saja.
Padahal, tanaman umbi-umbian tersebut memiliki gizi yang cukup tinggi dan dapat menggantikan nasi putih yang selama ini menjadi makanan pokok sebagian besar bangsa Indonesia.
Selain itu, singkong yang telah diolah menjadi tepung mocaf (modified cassava flour) dapat menggantikan tepung terigu yang selama ini digunakan untuk membuat kue, roti, atau olahan lainnya.
Bahkan, angka kecukupan gizi (AKG) pada tepung mocaf lebih tinggi dari tepung terigu. Berdasarkan data yang dikutip dari laman nilaigizi.com, AKG dari tepung mocaf mencapai 16 persen, sedangkan tepung terigu hanya 15 persen.
Selain itu, tepung mocaf juga bebas dari gluten yang dapat menimbulkan masalah bagi orang dengan kondisi kesehatan tertentu. Sementara kandungan gluten pada gandum dapat mencapai 80 persen dari total protein dalam tepung.
Terkait dengan hal itu, Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, mendorong pengembangan budi daya singkong agar tidak terpaku pada salah satu makanan pokok dan dapat dijadikan sebagai mocaf untuk mengurangi ketergantungan pada gandum atau tepung terigu.
"Kami berusaha untuk ke depan jangan sampai kita terpaku pada salah satu makanan pokok. Kita harus berdayakan semua petani untuk mengoptimalkan potensi yang ada di Kabupaten Banjarnegara, salah satunya adalah mocaf," kata Kepala Dinas Pertanian Perikanan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Banjarnegara Totok Setya Winarna.
Dorongan tersebut bukanlah tanpa alasan mengingat saat ini petani-petani milenial di Banjarnegara mulai mengembangkan mocaf, sehingga kebutuhan bahan baku berupa singkong pun meningkat.
Bahkan, pasokan singkong untuk kebutuhan mocaf di Banjarnegara sempat mengalami kekurangan seperti yang terjadi pada tahun 2021, sehingga harus mendatangkan dari Sukabumi, Purbalingga, dan Yogyakarta.
Kurangnya pasokan singkong tersebut disebabkan luasan lahan tanaman ketela pohon di Banjarnegara saat sekarang hanya tersisa sekitar 3.600 hektare atau menurun drastis dari kondisi lima tahun lalu yang mencapai lebih dari 12.000 hektare.
Masa kejayaan budi daya singkong di Banjarnegara terjadi pada tahun 2015 karena saat itu harganya mencapai Rp2.000 per kilogram, namun pada tahun 2017-2018 turun menjadi Rp300/kg.
"Namun sekarang sudah mencapai di atas Rp1.000/kg, ada yang Rp1.200/kg, ada yang Rp1.800/kg," kata Totok.
Ia mengharapkan harga singkong ke depan dapat terkoordinasi dan terkoneksi, sehingga tidak ada yang beli dengan harga Rp800/kg, minimal di atas Rp1.000/kg karena "break event point" (BEP) kurang lebih Rp650/kg.
Dengan demikian ketika harga singkong bisa mencapai Rp1.200/kg atau lebih, kesejahteraan petaninya akan meningkat.
Terkait dengan keberadaan industri mocaf, Totok mengatakan pihaknya berupaya menjaga ketersediaan bahan bakunya, sehingga Pemkab Banjarnegara berupaya mewujudkan "food estate" singkong.
Hal itu dilakukan agar potensi lahan singkong yang saat sekarang mencapai kisaran 3.600 hektare tetap optimal, produksinya berkesinambungan, dan ada nilai tambah.
Harapan ke depan ketergantungan terhadap tepung terigu atau gandum dapat tersubstitusikan oleh mocaf dan saat sekarang sudah banyak produk-produk olahan tempe yang menggunakan tepung singkong itu.
Oleh karena itu, Pemkab Banjarnegara saat sekarang fokus untuk menggarap pasar. "Kalau masalah budi daya itu mudah dilakukan, yang penting pasar itu, kontinuitas produk tetap terjamin. Ya syukur sih, 'nuwun sewu' (mohon maaf, red.) kalau saya sederhana saja, nanti akan berhitung kebutuhan terigu di Banjarnegara berapa sih, harapan kami itu (mocaf, red.) bisa mengganti terigu yang ada di Banjarnegara," kata Totok.
Kendati mocaf Banjarnegara telah menembus pasar ekspor, pihaknya tetap harus memikirkan kebutuhan lokal karena jika tidak dipikirkan akan repot sendiri.
Dalam hal ini, ekspor mocaf dari Banjarnegara ke Oman yang dilakukan pada November 2021 mencapai 5 ton. Saat sekarang sedang dilakukan verifikasi dan sertifikasi dalam rangka persiapan ekspor ke Belanda.
"Kita tetap harus pikirkan kebutuhan lokal. Ke depan masyarakat diharapkan makin cerdas mengonsumsi makanan yang sehat," kata Totok.
Salah seorang petani milenial yang juga pelaku usaha mocaf di Banjarnegara, Riza Azyumarridha Azra mengatakan sudah saatnya kedaulatan pangan lokal Indonesia bangkit seiring dengan lonjakan harga tepung terigu sebagai imbas dari perang Rusia-Ukraina dan larangan ekspor gandum oleh India.
Pemilik Rumah Mocaf Indonesia itu menilai ketika Pemerintah Indonesia mau menghentikan kebijakan impor gandum, ada jutaan petani di Indonesia yang bakal terangkat martabat dan kesejahteraannya.
"Jika impor gandum tersebut dihentikan, harga mocaf pun bisa semakin bersaing hingga akhirnya bisa berkembang dan terus diterima masyarakat secara luas," katanya.
Ia mengakui sejak terjadinya pandemi COVID-19 hingga sekarang, permintaan masyarakat terhadap mocaf yang diproduksi Rumah Mocaf Indonesia terus mengalami peningkatan, yakni dari sebelumnya rata-rata 10 ton per bulan menjadi 30 ton per bulan.
Selain itu, permintaan mocaf untuk pasar luar negeri juga meningkat namun pihaknya menganggapnya sebagai bonus karena saat sekarang masih fokus pada pasar dalam negeri.
Meningkatnya permintaan masyarakat terhadap mocaf itu disebabkan masyarakat semakin menyadari budaya hidup sehat karena singkong yang selama ini dianggap sebagai makanan marginal, ketika diolah secara serius bisa menjadi tepung mocaf yang premium.
"Mocaf yang 'healthy food', yang 'gluten free', yang rendah indeks glikemik, dan memiliki karakteristik hampir sama dengan tepung terigu tetapi lebih sehat," kata Riza.
Seiring dengan melonjaknya harga tepung terigu di pasaran, kini saatnya masyarakat beralih ke tepung mocaf yang bergizi dan lebih sehat dari gandum.
Selain itu, dengan beralih ke mocaf, kedaulatan serta ketahanan pangan lokal akan terangkat dan kesejahteraan petani singkong pun bakal meningkat. Apalagi Indonesia negara penghasil singkong terbesar kedua di dunia setelah Brasil.
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2022