Semakin warganya sehat, mereka semakin haus untuk menonton pertunjukan seni."
Jakarta (ANTARA News) - Tumpukan seng-seng setinggi 5,8 meter disusun sedemikian rupa. Boneka-boneka bayi yang seolah sedang memanjat, mengelilinginya.
Tanaman gulma mencuat keluar dari dalam kotak seng yang diberi nama "Candi Jukstagonis."
Itu adalah karya Komunitas Wijayakusuma, komunitas kesenian terbuka yang diperuntukkan untuk perangkai bunga. Ceritanya tentang ironi penghijauan di Jakarta.
"Penghijauan sedemikian dilupakannya oleh pemerintah maupun masyarakat, sedangkan yang dibangun justru bangunan yang terbuat dari beton," kata Prabhoto Satrio, seorang seniman dari Komunitas Wijayakusuma.
Lalu, mengapa mesti ada boneka bayi? Itu adalah metafora dari generasi masa depan, kata Prabhoto.
"Apa yang nantinya akan ditampilkan kepada mereka kalau bukan pepohonan dan ruang terbuka hijau," sambungnya.
"Candi Jusktagonis" adalah salah satu sajian dari rangkaian perhelatan seni rupa akbar Jakarta Biennale ke-14 yang akan berakhir pada 15 Januari 2012.
Ajang seni rupa internasional yang diadakan dua tahun sekali itu mengusung tema besar, "Maximum City: Survive or Escape?."
Seniman diajak untuk merespon fenomena kota Jakarta yang sudah sesak. Sesak oleh manusia, bangunan perkantoran, mal, alat transportasi, polusi, dan problema lain yang terus mengitarinya.
Kesesakan ini memanen persoalan, mulai dari kriminalitas, ruwetnya tata kota, macet di mana-mana, krisis lingkungan dan air bersih, kekerasan, intoleransi, sampai kian terkikisnya ruang publik.
Ironi demi ironi muncul, misalnya saat kita begitu mudahnya melihat gelandangan di pinggir jalan, baliho merek-merek produk mewah tertancap di berbagai sudut jalan, tepat di mana para gelandangan itu berada. Gaya hidup urban tak terbendung, tapi dengan menganggap sepi keterpinggiran manusia-manusia yang dipinggirkan oleh ketidakpedulian.
Seniman asal Yogyakarta, Donna Prawita Arisoeta, mencoba menggambar ironi itu dengan mencipta parodi merek-merek mewah lewat kantong tas terbuat dari keramik.
Kantong tas bermerek Hermes, DKNY, Zara, Lacoste, Guess, Chanel, dan lain lain itu diletakkan di antara toko-toko yang memang menjual merek-merek terkenal di mal Central Park, Jakarta Barat.
Sementara itu, di kali Ciliwung, di depan Galeri Antara, digelar pertunjukan yang melibatkan unsur rupa, musik, tari dan teater karya Aidil, Sabil, & Poppy. Temanya adalah sampah, kekerasan, dilema keberagaman, kontradiksi teknologi, dan gaya hidup manusia urban.
Aidil mengusung “Kali Mati” yang ditampilkannya pada 22 Desember tahun lalu. Dia ingin mengisahkan sebuah cara menghidupkan kembali kali di Jakarta. Sehari kemudian, Poppy, dibantu perupa senior Iriantine Karnaya, menyajikan “Sungai Merah” yang bertolak dari fakta banyaknya mayat-mayat korban pembunuhan yang dibuang di sungai-sungai Jakarta.
Lalu, Sabil menggelarkan “Ritus Cyborg” di area Pasar Baru. Koreografi ini berusaha mengkontemplasi sungai-sungai di Jakarta yang telah tercemar dan menjadi tempat limbah pabrik dan barang elektronik bekas.
Ketiganya memanfaatkan ruang publik sebagai area mengekspresikan diri dan masyarakat menyambutnya dengan baik.
Menurut Seno Joko Suyono, salah satu kurator Jakarta Biennale #14, ini adalah kali kedua Jakarta Biennale yang berlangsung sejak 1968, digelar di ruang publik.
"Ini untuk lebih mendekatkan seni kontemporer pada masyarakat," tambah Seno.
Dia melanjutkan, "Semakin warganya sehat, mereka semakin haus untuk menonton pertunjukan seni."
Berbagai karya seni kontemporer berhasil dipamerkan di berbagai ruang publik di kota Jakarta sepanjang Desember tahun lalu dan Januari ini, mulai dari Galeri Nasional, Taman Ismail Marzuki, Taman Menteng di Jakarta Pusat, sampai Kampung Rambutan di Jakarta Timur. Tak terkecuali pertunjukkan boneka Saurus raksana yang dibawakan beriringan oleh kelompok seniman Close Act Theatre dari Belanda pada 18 Desember di Bundaran HI dan Taman Fatahillah.
Selain sebagai tolok ukur kemajuan kota, penyelenggaraan Biennale adalah salah satu tolok ukur perkembangan seni rupa Indonesia. Para perupa terkemuka Indonesia pernah tampil di ajang ini.
Jakarta Biennale #14 membagi tema besarnya dalam lima subtema; Violence and Resistance; Narcisism, Voyeurism, and Body; Game, Leisure, and Gadget Victim; Metro-Text Seductions; dan Citizen and Homo Ludens.
Kelima tema ini dianggap sebagai bahan refleksi.
Dinamika kota tampaknya menginspirasi untuk lahirnya kreasi-kreasi seni seperti pada Jakarta Biennale ini yang semestinya menyentuh masyarakat.
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2012