Belum lama ini ada penelitian yang bagus di Bali, brand audit atas sampah plastik sehingga ketahuan mana saja produk perusahaan yang berakhir di alam, baik itu di sungai maupun di laut

Jakarta (ANTARA) - Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marinves) Rofi Alhanif mengapresiasi audit merek (brand audit) sampah plastik yang mencemari lingkungan di Bali.

"Belum lama ini ada penelitian yang bagus di Bali, brand audit atas sampah plastik sehingga ketahuan mana saja produk perusahaan yang berakhir di alam, baik itu di sungai maupun di laut," kata Rofi dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

Dia merujuk kajian Sungai Watch, sebuah lembaga swadaya di bidang lingkungan di Bali, atas sampah plastik sekali pakai, termasuk saset, botol dan gelas plastik, yang mencemari sungai dan perairan laut di Pulau Dewata.

Dalam laporan brand audit atas sampah plastik di Bali pada 2021, Sungai Watch mengungkap 10 besar perusahaan yang produk dan kemasannya paling mencemari Bali.

Audit juga menemukan hampir separuh dari total sampah plastik yang dianalisa berupa sampah kemasan saset sekali pakai. Dari total 67.000 item, 30 persen lebih adalah saset snack,setara dengan total sampah saset produk kopi dan mie instan.

Menurut Rofi, brand audit seperti yang dilakukan Sungai Watch tersebut bermanfaat untuk mengedukasi produsen agar lebih bertanggungjawab untuk menarik kembali produk dan kemasan plastik yang mereka produksi dan terbuang di lingkungan terbuka sebagai sampah.

"Memang banyak tantangan, utamanya untuk produk seperti saset yang terbilang dilema lantaran permintaannya tinggi, terutama di daerah yang masyarakat atau ekonominya lemah," katanya dalam Dialog Nasional Penanggulangan Sampah Plastik oleh Produsen.

Oleh karena itu Rofi mendorong kalangan produsen aktif mengeksplorasi mekanisme penarikan sampah plastik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat.

Sebelumnya Kepala Subdirektorat Tata Laksana Produsen, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ujang Solihin Sidik, mengakui dilema peredaran masif produk sekali pakai yang bermasalah dari sisi kemasan (problematic packaging), utamanya saset.

Karena itu, menurutnya, pemerintah mendorong produsen mengadopsi penghentian (phasing-out) produksi produk dan kemasan pangan dengan wadah plastik mini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.

Dalam peraturan tersebut, produsen air kemasan diarahkan untuk menghentikan (phasing-out) produksi dan peredaran semua kemasan mini, di bawah 1 liter, per Desember 2029. Aturan serupa berlaku untuk kemasan saset di bawah 50 mililiter.

"Peraturan itu berlaku untuk semua level produsen, baik besar maupun kecil. Namun dalam implementasinya, target utamanya adalah perusahaan-perusahaan besar karena merekalah kontributor terbesar sampah plastik," kata Ujang.


Baca juga: Aneka sampah plastik ancam cemari laut
Baca juga: DLH: Sebanyak 60 persen sampah berasal dari permukiman warga
Baca juga: Lembaga peduli lingkungan dorong kolaborasi pengelolaan sampah plastik

Pewarta: Subagyo
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022