Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiarej memberi penjelasan beberapa isu kontroversial di masyarakat terkait dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undangan Hukum Pidana (KUHP).
Beberapa isu yang kontroversial di masyarakat yang ada di RUU KUHP di antaranya pidana mati, penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib, contempt of court, dan penodaan agama.
"Dari 14 butir RUU KUHP yang menjadi perbincangan hangat di masyarakat, akhirnya Kemenkumham dan DPR menyepakati ada pasal yang tetap dipertahankan," katanya saat memberikan kuliah umum di Gedung Serbaguna Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur, Kamis.
Pejabat yang biasa dipanggil Eddy itu memberikan contoh isu kontroversi di masyarakat seperti pasal hukuman mati, kemudian ada pasal yang direformulasi seperti pasal mengenai penodaan agama, serta ada juga pasal yang dihapus seperti pasal mengenai advokat curang dan pasal mengenai praktik dokter gigi tak berizin.
"Kami menyadari pasti akan ada pro dan kontra terhadap RUU KUHP, untuk itu Kemenkumham sebagai penyusun RUU selalu terbuka akan sumbangan pemikiran dan kritik yang ada," tuturnya.
Ia menjelaskan penyusunan RUU KUHP bukan semata-mata persoalan hukum dan tidak mungkin bisa memuaskan seluruh pihak, mengingat akan selalu ada tarik menarik kepentingan dari sisi sosial, budaya, agama serta politik.
"Sebagai contoh kalangan aktivis HAM menentang adanya pasal hukuman mati, sementara pegiat antikorupsi justru ingin koruptor dihukum mati," ucapnya.
Baca juga: Wamenkumham: Penghinaan presiden dan wapres jadi delik aduan
Baca juga: Wamenkumham: RUU Pemasyarakatan perlu segera disahkan
Menurutnya Kemenkumham telah melakukan survei pada tahun 2015-2016 mengenai hukuman mati dan ternyata 80 persen responden setuju adanya hukuman mati, namun sebagian besar mereka juga keberatan kalau teroris dihukum mati.
"Sebanyak 80 responden yang setuju hukuman mati, ketika ditanya apakah pelaku terorisme patut dihukum mati maka hanya 20 persen di antaranya yang setuju. Itu membuktikan bahwa pidana mati terkait banyak hal seperti agama, sosial, budaya dan politik," ujarnya.
Untuk itu, lanjut dia, dalam RUU KUHP pidana mati menjadi pidana khusus dimana hakim yang menjatuhkan keputusan pidana mati disertai pidana percobaan selama sepuluh tahun.
"Jika selama masa percobaan sepuluh tahun terpidana mati berkelakuan baik maka bisa diubah menjadi hukuman seumur hidup," ucap guru besar di FH Universitas Gadjah Mada itu.
Pasal lain yang juga menjadi kontroversi adalah pasal mengenai penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Eddy menepis anggapan beberapa pihak yang menganggap pemerintah tengah menghidupkan pasal karet yang bertentangan dengan prinsip equality befor the law.
Menurutnya KUHP semua negara memiliki persamaan dan memuat substansi yang pasti sama, namun ada tiga hal yang membedakan di antara KUHP masing-masing negara yakni mengenai kejahatan politik, kejahatan terhadap kesusilaan dan pasal mengenai penghinaan, sehingga setiap negara akan berbeda dalam mendefinisikan ketiga hal tersebut dalam KUHP-nya.
"Jangan lupa bahwa dalam RUU KUHP kita, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden adalah delik aduan dan bukan delik biasa, artinya presiden yang akan nanti mengadukan penghinaan tersebut ke pengadilan," ujarnya.
Sementara Dekan Fakultas Hukum Unej Bayu Dwi Anggono dalam laporannya sempat menyentil adanya beberapa pasal yang kontroversial itu, sehingga diharapkan Wamenkumham bisa memberikan penjelasan kepada dosen dan mahasiswa yang menjadi peserta kuliah umum tersebut.
Baca juga: Wamenkumham sebut hukuman mati merupakan 'special punishment'
Baca juga: Pakar sebut RUU KUHP jadi payung hukum keadilan restoratif
"Melalui forum itu mudah-mudahan kami akan dapat penjelasan bagaimana terkait isu-isu yang kontroversial di masyarakat yang ada di RUU KUHP," katanya.
Menurutnya beberapa isu itu di antaranya penjelasan mengenai The Living Law yaitu yang dimaksud hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana, kemudian mengenai pidana mati, penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib (santet).
"Kemudian dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin, unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih, contempt of court, advokat curang, dan penodaan agama," tuturnya.
Bayu menilai kuliah tamu dengan pemateri Wamenkumham dapat sekaligus sebagai sarana sosialisasi perkembangan pembahasan RUU KUHP mengingat pemerintah telah menyatakan bahwa RUU KUHP akan disahkan paling lambat pada Juni 2022.
Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022