Jakarta (ANTARA News) - Dubes Indonesia untuk Australia dan Vanuatu, Teuku Mohammad Hamzah Thayeb, akan mengunjungi fasilitas penahanan "Coonawara" dan Lembaga Pemasyarakatan Berrimah, Negara Bagian Northern Territory, sebagai bagian dari kegiatan kunjungannya pada 4-11 April mendatang. Di kedua tempat itu, sejumlah warganegara Indonesia, khususnya nelayan, ditahan, kata Pjs Konsul RI di Darwin, Maimunah Vera Syafik, dalam informasi tertulisnya tentang rencana kunjungan Dubes Thayeb yang diterima ANTARA di Jakarta, Jumat. Kunjungan Dubes ke negara bagian itu dimaksudkan sebagai "introductory call" (kunjungan perkenalan) kepada kepala pemerintahan di sana, katanya. Terkait dengan masalah nelayan asing dan upaya Australia dalam menangani pencurian ikan, Sekretaris II Konsulat RI Darwin, Teguh Wiweko, kepada ANTARA awal pekan ini mengatakan pemerintah Australia akan bersikap lebih tegas dalam memerangi aksi pencurian ikan di perairannya dengan mengintegrasikan kantor bea cukai, Otoritas Manajemen Perikanan Australia (AFMA), dan angkatan laut di Negara Bagian Northern Territory. "Sekarang komitmen negara itu untuk memerangi `illegal fishing` (pencurian ikan) semakin kuat. Menteri Perikanannya pun kini sudah baru," katanya. Northern Territory pun, katanya, akan menjadi pusat "tahanan darat" (land detention) bagi para nelayan asing, termasuk Indonesia, yang kapal-kapalnya tertangkap di perairan negara itu. Selama ini, selain di Northern Territory, pusat penahanan juga terdapat di Negara Bagian Western Australia dan Queensland, katanya. Dari segi hukuman pun, hukuman maksimal bagi kapten kapal yang melanggar akan meningkat menjadi 10 tahun, dengan denda bisa mencapai ratusan ribu dolar Australia, kata Teguh. Wakil Konsul RI di Darwin itu tidak menyebutkan jumlah nelayan Indonesia yang kini ditahan di negara bagian itu. Namun, menurut data Konsulat RI Darwin, jumlah nelayan Indonesia yang ditahan antara 1 Januari dan 28 Febuari 2005 mencapai 257 orang dengan 36 kapal, sedangkan selama 2004 jumlah nelayan yang ditahan tercatat sekitar 418 dengan 159 kapal. Tahun 2005, para nelayan Indonesia yang tertangkap masih ditahan di atas kapal-kapal maupun perahu-perahu bermotor mereka yang lego jangkar sekitar satu setengah mil dari dermaga Pelabuhan Darwin Wharf, Darwin.Akibat maraknya trawl Sekretaris III KBRI Canberra, Ani Nigeriawati, mengutip pengakuan Raden, salah seorang awak kapal nelayan Indonesia yang pernah ditahan di Darwin Mei 2005, mengemukakan maraknya kapal-kapal pukat harimau asing dan pemakaian bom ikan di perairan Indonesia berdampak buruk terhadap nasib nelayan Indonesia. Bahkan, mengutip pengakuan Raden, maraknya kapal-kapal pukat harimau asing dan pemakaian bom ikan itu merupakan dua penyebab mengapa para nelayan Indonesia yang hanya mengandalkan alat tangkap tradisional seperti bubu dan alat pancing menangkap ikan secara tidak sah di perairan Australia. Lelaki yang sudah dua kali tertangkap dalam kasus yang sama ini menuturkan bahwa dia bisa mengantongi pendapatan bersih sekitar Rp6 juta per 15 hari melaut di perairan Australia jika tidak tertangkap, sedangkan tekong (juragan) menerima Rp10 juta, katanya mengutip Raden. Raden mengatakan para nelayan seperti dirinya semakin sulit mendapatkan ikan di perairan Indonesia karena, selain kalah bersaing dengan kapal-kapal pukat harimau yang berasal dari Thailand, Taiwan, dan China, penggunaan bom ikan telah membuat potensi ikan di perairan Indonesia menurun. Ani mengatakan perahu yang diawaki Raden bersama enam rekannya yang telah dikembalikan aparat Australia ke tanah air sudah dimusnahkan, karena pemilik perahu tidak mau membayar tebusan (bond) yang telah ditetapkan pemerintah Australia. (*)

Copyright © ANTARA 2006