Jakarta (ANTARA) - Peringatan global Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2022 yang jatuh pada Selasa (31/5), mengambil tema “Tobacco: Threat to Our Environtment” yang di Indonesia diadaptasi menjadi “Rokok: Ancaman Kesehatan dan Lingkungan”.
Tema tersebut mempertegas bahwa rokok bukan hanya ancaman bagi kesehatan manusia, melainkan juga menjadi ancaman bagi lingkungan.
Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2022 dirayakan oleh para pegiat pengendalian tembakau dengan melakukan berbagai kampanye, baik secara langsung maupun menggunakan berbagai media.
Tidak banyak isu berbeda yang diusung bila dibandingkan dengan peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia tahun-tahun sebelumnya, selain upaya untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya rokok.
Beberapa kampanye yang terus dilakukan para pegiat pengendalian tembakau adalah menyuarakan tentang wacana pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok; menjadikan rokok mahal melalui kenaikan tarif cukai rokok dan penyederhanaan struktur tarif cukai rokok; dan revisi PP No.109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Wacana pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok menjadi isu yang sensitif, tidak hanya bagi industri rokok tetapi juga biro iklan yang membuat konten iklan dan media massa yang menjadi sarana untuk beriklan.
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers memang memungkinkan pers nasional menjadi lembaga ekonomi, yaitu entitas bisnis yang mencari keuntungan salah satunya melalui iklan.
Baca juga: Peneliti: Sampah puntung rokok ikut sebabkan cemaran mikroplastik
Prevalensi naik
Sejauh ini, iklan rokok memang belum dilarang, melainkan hanya dibatasi. Pembatasan yang dilakukan adalah tidak boleh menampilkan produk rokok dan cara menghisap rokok, serta di media penyiaran dibatasi pada pukul 21.30 hingga pukul 05.00 waktu setempat.
Namun, pembatasan itu tampaknya menjadi bumerang karena mendorong kreativitas perancang iklan untuk membuat iklan rokok yang menarik, yang pada akhirnya, tertanam di benak masyarakat termasuk anak-anak dan remaja.
Salah satu kekhawatiran para pegiat pengendalian tembakau adalah iklan rokok yang kreatif dan menarik membuat anak-anak dan remaja tertarik kemudian mulai mencoba merokok dan akhirnya menjadi perokok. Iklan rokok menampilkan pesan-pesan positif yang memberikan motivasi, keberanian, kejantanan, keren, dan lain-lain.
Sejumlah penelitian memang menemukan hubungan antara paparan iklan rokok dengan kemungkinan anak untuk mencoba merokok hingga kemudian menjadi perokok.
Perokok anak dan remaja di Indonesia memang tidak bisa dianggap wajar. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 menunjukkan 19,2 persen siswa di Indonesia telah menggunakan produk rokok, baik rokok konvensional yang dibakar maupun rokok elektronik atau tembakau yang dipanaskan.
Sementara itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menemukan prevalensi perokok usia 10 tahun hingga 18 tahun mencapai 9,1 persen.
Angka tersebut mengalami kenaikan bila dibandingkan riset yang sama pada 2013 yang berada pada angka 7,2 persen. Padahal, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan penurunan prevalensi perokok pada usia tersebut turun menjadi 5,4 persen.
Baca juga: Peneliti: Puntung rokok berkontribusi dalam temuan sampah di pesisir
Iklan di media
Sejumlah penelitian dan investigasi memang menemukan bahwa industri rokok global menyasar anak-anak untuk menjadi perokok pemula, kemudian menjadi perokok. Industri rokok merasa perlu “menciptakan” generasi baru perokok untuk menggantikan konsumen mereka yang sudah mulai menua dan pada akhirnya akan mati.
Menurut Memorandum Internal Perusahaan Rokok RJ Reynolds pada 29 Februari 1984, setiap industri rokok menganggap perokok remaja sebagai faktor penting karena mereka akan menjadi perokok pengganti. Bila tidak ada perokok remaja menggantikan perokok tua, maka tidak akan ada konsumen dari generasi penerus sehingga industri rokok akan punah.
Karena itu, pemerintah di seluruh negara perlu tegas untuk melindungi anak-anak yang menjadi sasaran industri rokok. Karena itu, di tingkat global terdapat sebuah kerangka kerja dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC).
Sebagai anggota WHO, Indonesia ikut merumuskan kerangka kerja tersebut, meskipun pada akhirnya tidak ikut menjadi negara pihak yang meratifikasi atau mengaksesinya.
Meskipun belum meratifikasi atau mengaksesi FCTC, upaya pengendalian tembakau di Indonesia mendapat angin segar dalam RPJMN 2020-2024.
Di dalam RPJMN tersebut, terdapat kebijakan yang lebih ketat dalam pengendalian tembakau, antara lain pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok; penyederhanaan struktur tarif hasil tembakau, dan revisi PP No.109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Bila iklan rokok dilarang, lalu bagaimana nasib biro iklan dan media massa yang hidup dari iklan?
Baca juga: WHO Indonesia ingatkan rokok berdampak terhadap lingkungan
Framing
Menurut laporan tahunan Nielsen, belanja iklan sepanjang 2021 mencapai Rp259 triliun, tumbuh 13 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Televisi masih menjadi saluran iklan pilihan dengan kue iklan mencapai 78,2 persen, disusul saluran digital 15,9 persen, kemudian media cetak 5,5 persen dan radio 0,4 persen.
Nielsen menemukan pertumbuhan positif pada sembilan kategori iklan, yaitu jasa daring, perawatan wajah, perawatan rambut, teh dan kopi, makanan ringan, rokok kretek, bumbu musiman, susu cair, serta makanan dan mie instan.
Melihat laporan tahunan Nielsen tersebut, seharusnya biro iklan dan media massa tidak perlu terlalu menggantungkan diri pada iklan dari industri rokok. Terdapat sembilan kategori iklan yang mengalami pertumbuhan positif, termasuk iklan rokok kretek. Itu berarti, masih ada delapan kategori iklan yang bisa disasar oleh para pembuat dan pencari iklan.
Penelitian yang dilakukan penulis juga menemukan hal yang cukup menarik. Pada rentang waktu Januari hingga April 2022, dengan menggunakan kata kunci “pelarangan iklan rokok” (tanpa tanda kutip) di mesin pencari Google pada kategori “Berita”, penulis menemukan lebih banyak media daring yang memiliki nada pemberitaan mendukung pelarangan iklan rokok.
Paradigma konstruktivisme memandang pemberitaan di media, termasuk media daring, merupakan konstruksi atas realitas sosial.
Istilah konstruksi atas realitas sosial diperkenalkan pertama kali oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman untuk menggambarkan peran sosial melalui tindakan dan interaksi ketika individu menciptakan realitas yang dimiliki terus menerus dan mengalami bersama secara subjektif.
Berdasarkan pandangan konstruktivisme, media pada dasarnya melakukan framing atau pembingkaian untuk mengonstruksi realitas sebagai berita.
Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana wartawan memilih isu dan menulis berita, menentukan fakta yang diambil, menonjolkan atau menghilangkan bagian tertentu, serta ke mana berita tersebut akan diarahkan.
Baca juga: Pengamat: Tembakau alternatif perlu regulasi berbeda dengan rokok
Iklan rokok
Dari hasil analisis terhadap berita yang terdapat pada tiga halaman pertama mesin pencari Google, ditemukan dua nada pemberitaan di media daring tentang wacana pelarangan iklan rokok, yaitu yang mendukung dan yang menolak.
Dari 30 berita di tiga halaman pertama mesin pencari Google, lebih banyak berita yang bernada mendukung pelarangan iklan rokok dan hanya ditemukan dua berita yang bernada menolak.
Berita dengan nada mendukung, biasanya mengambil narasumber dari pegiat kelompok masyarakat sipil pendukung pengendalian tembakau, sedangkan pemberitaan dengan nada menolak menggunakan narasumber dari organisasi pekerja industri rokok atau anggota DPR yang selama ini mengambil sikap berlawanan dengan pengendalian tembakau.
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa redaksi media daring mengambil sikap mendukung pelarangan iklan rokok.
Hal itu mungkin bertentangan dengan bagian iklan di media yang mungkin menjadikan iklan rokok sebagai salah satu sasaran untuk mendapatkan iklan. Batas api di media antara bagian redaksi dengan bagian iklan memungkinkan perbedaan sikap tersebut.
Bila redaksi media kemudian mengambil sikap mendukung pelarangan iklan rokok, maka seharusnya hal itu menjadi pemicu bagi bagian iklan untuk bisa lebih kreatif mencarii iklan di luar iklan rokok.
Hal itu tentu saja memungkinkan karena laporan tahunan Nielsen juga menunjukkan pertumbuhan positif dialami oleh banyak kategori iklan.
*) Dewanto Samodro adalah Dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta dan mantan jurnalis
Baca juga: Komnas Pengendalian Tembakau: Merokok salah satu penyebab hipertensi
Copyright © ANTARA 2022