Menoreh adalah menulis sesuatu, mencatat apa saja. Kita lemah dalam kerangka kebudayaan menulis. Sekarang orang ramai-ramai menulis di jejaring sosial. Tetapi apakah itu bukan sekadar karena kekosongan jiwa."

Magelang (ANTARA News) - Guntur berentetan menggelegar sekali, disusul gerimis menetes terkesan malu-malu membasahi kawasan tepi alur Sungai Pabelan Mati, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur.

Berbalut tatanan kain batik yang seakan mengambarkan kemegahan figur raja, seorang pemimpin seniman petani Komunitas Lima Gunung Magelang, Sitras Anjilin, berdiri di tengah konfigurasi lingkaran mereka lainnya di panggung terbuka Taman Metamorfosa Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, satu malam menjelang pergantian Tahun 2011 ke 2012.

Gemericik air mengalir di alur Kali Pabelan Mati, yang diduga bekas jalur banjir lahar Gunung Merapi tempo dulu, menjadi pewarna kental atas pergelaran "Ritus Ondo Gunung" oleh KLG Magelang dengan penonton dalam jumlah terbatas.

Hujan cukup deras memang baru saja turun di kawasan itu, pada sore hari. Tatkala gelap mulai menusuk sekitar Kali Pabelan Mati itu, seakan hujan meluangkan waktu untuk mereka mementaskan refleksi akhir tahun "Ritus Ondo Gunung" komunitas seniman petani tersebut.

Sejumlah orang mengusung dua batang gedebok sebagai bagian dari kelir wayang kulit kontemporer yang dimainkan komunitas seniman petani "Sanggar Saujana", Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, di antara Gunung Merapi dengan Merbabu, pimpinan Sujono.

Dalang Heru Setyawan berpakaian adat Jawa gaya Yogyakarta, duduk bersila di atas tanah di antara dua kelir kontemporer itu, memainkan lakon "Wangsit Ponconingrat".

Musik gamelan ditabuh para pengrawit dengan sentuhan "kepyak" dan "kecrek" dari kaki sang dalang muda, anggota komunitas "Sanggar Saujana" itu pun bertalu-talu mewarnai penceritaan "Wangsit Poncowati"

Lakon carangan berdurasi cukup singkat itu bertutur pencarian makna "Wangsit Poncowati" yang diterima tokoh wayang Ongkowijoyo atau Abimayu dari para dewa di kayangan. Ia dikisahkan bertanya kepada Semar tentang wangsit itu yang ternyata berisi makna "lima ondo" atau lima tangga pencapaian kehidupan manusia.

Ongkowijoyo yang kemudian bertapa di hutan, diceritakan sang dalang berhasil mengalahkan Cakil dan para buto raksasa karena memiliki kesaktian atas makna "Wangsit Poncowati".

Seniman lainnya yang memainkan ritus sebagai pentas refleksi akhir tahun komunitas seniman petani Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh itu dengan berbagai properti antara lain Ismanto, Sujono, Sucipto, Supadi, Riyadi, Wenti Nuryani, Rahmad Murti Waskito, Djoko Widiyanto, Pangadi, Noviana Ayomsari, dan Dorothea Rosa Herliany. Mereka serba berpakaian warna hitam dengan iket dan belangkon di kepala.

Dua seniman gadis, Dian dan Alfi, masing-masing mengenakan pakaian adat peranakan Jawa, duduk simpuh mengapit Pangadi, pemimpin "Sanggar Wonoseni" Kecamatan Bandongan, yang bersila dengan di depannya berproperti kendi, bunga mawar, dan tempayan berisi air.

Mereka memainkan performa ritus "Ondo Langit" lambang refleksi tentang ilmu pengetahuan yang tak pernah berujung untuk diteguk.

Terkait dengan ritus "Ondo Langit", pemimpin tertinggi KLG Magelang Sutanto Mendut menyebut kata "menoreh" untuk nama Pegunungan Menoreh, tak lepas dari pesan simbolis tentang budaya "membaca dan menulis".

"Menoreh adalah menulis sesuatu, mencatat apa saja. Kita lemah dalam kerangka kebudayaan menulis. Sekarang orang ramai-ramai menulis di jejaring sosial. Tetapi apakah itu bukan sekadar karena kekosongan jiwa. Masyarakat Jepang, China, Myanmar, Thailand mempunyai catatan lengkap dibanding masyarakat Indonesia saat ini yang memuja kebudayaan," katanya.

Sutanto yang juga pengajar Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu mengemukakan, nenek moyang bangsa Indonesia hidup dalam belenggu ilmu pengetahuan dan kearifan yang kemudian ditorehkannya dalam wujud kesenian, gamelan, wayang kulit, ataupun Candi Borobudur.

Belajar yang sesungguhnya, katanya, telah dilakoni nenek moyang bangsa sehingga mereka menghasilkan karya kebudayaan yang hingga saat ini diagungkan secara turun-temurun, antargenerasi.

"Tetapi generasi saat ini terlena dengan keagungan, lupa mencatat setiap `lelakon` apa saja. Hasilnya antara lain banyak seniman melakukan tindakan kesenian tanpa latar belakang ilmu pengetahuan, sehingga asal di panggung dan dipotret. Dan ketika turun panggung terjadi ketidakseimbangan diri dengan kehidupan nyata," katanya.

Lelaki tua berkarakter kekar berasal dari Gunung Merbabu, Sucipto, duduk bersila di tanah panggung terbuka berproperti payung raksasa dengan kerangka besi. Di depannya setumpuk penuh kembang mawar merah putih, sedangkan di sampingnya properti ritus mereka tentang "Ondo Kencono", lambang refleksi tentang kekuasaan.

Ritus "Ondo Kencono" disebut Riyadi yang juga pemimpin Padepokan "Wargo Budoyo Gejayan" Kecamatan Pakis, lereng Gunung Merbabu sebagai refleksi pencapaian manusia atas suatu cita-cita, termasuk keinginan meraih kursi kekuasaan.

"Saya prihatin. Yang terjadi itu kekuasaan bukan untuk orang baik, benar, dan jujur, tetapi orang berduit yang memperoleh kekuasaan. Mungkin ini bagian dari suatu proses. Tetapi nanti yang terjadi tidak ubahnya dengan kemarin, yang berkuasa yang punya duit," katanya.

Seniman Sujono berpakaian adat Jawa warna hitam dengan surjan, bebet, dan belangkon bersama empat pelaku juru kunci Museum Kali Wangsit di tepi Kali Pabelan Mati itu, Djoko, Fredy, Arwanto, dan Kipli, masing-masing berbalut kain hitam, memainkan gerakan performa "Ondo Bumi" di sudut panggung Taman Metamorfosa.

Ritus "Ondo Bumi", menurut Sujono, lambang refleksi kesejahteraan petani yang hingga saat ini masih sebatas permainan harga panenan hasil bumi mereka oleh para pihak yang berkepentingan.

Di ujung panggung terbuka, tepatnya di depan dua patung batu penghias Taman Metamorfosa itu, Wenti dan Waskito, memainkan performa sambil masing-masing duduk timpuh dan bersila, dengan di depannya bunga mawar di atas cobek beralaskan secarik kain merah. Mereka memainkan ritus "Ondo Tresno", simbol refleksi cinta yang penuh makna universal.

"`Tresno` atau cinta bukan sekadar antara laki-laki dengan perempuan, tetapi `tresno` kepada lingkungan, sesama, kebudayaan. Banyak peristiwa selama 2011 menjadi keprihatinan bersama karena tidak ada `tresno`. Tindakan kekerasan tidak menyelesaikan persoalan kekerasan itu sendiri seperti kasus Bima dan Mesuji. Juga bunuh diri massal, bapaknya, ibunya dengan anaknya. Kalau memang mencintai tentu ingin memberikan yang terbaik kepada yang dicintai," kata Wenti.

Berbagai tindak kekerasan, kata Wenti yang juga pengajar tari Universitas Negeri Yogyakarta itu, karena tekanan psikologis dan sosial dialami masyarakat, sedangkan negara memiliki andil cukup signifikan terhadap merebaknya tekanan hidup karena belum berhasil menyemai rasa aman dan nyaman masyarakat.

Ia menyebut negara belum berhasil membangun "tresno" dengan rakyat sehingga muncul sejumlah kelompok arogan yang secara latah mengejawantahkan semboyan "sedumuk bathuk senyari bumi, dilakoni nganti pati", yang kira-kira maksudnya suatu pembelaan secara mati-matian.

"Ondo Jiwo"
Sitras yang juga pemimpin Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" di lereng barat Gunung Merapi, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, melakukan performa gerak "Ondo Jiwo", seakan mengikuti tembang bahasa Jawa berlanggam kreasi yang dilantunkan Noviana dari pojok gelap di samping patung batu setinggi dua meter, Monumen Lima Gunung.

Tembang berjudul "Amurwani" yang dilantunkan Noviana yang mahasiswi Jurusan Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu, kira-kira berisi pesan pentingnya setiap orang meneladan kebaikan karena kebaikan menjadi kekuatan penopang dari berbagai mara bahaya, modal penolong terhadap sesama yang sedang menghadapi bencana, dan fondasi atas perlindungan manusia oleh Tuhan.

"`Amurwani sinunggati, mrih tulodho, sinanggite pasemone mugi hayu rahayu, kalising bebendhu, pinayoman Hyang Agung, asih mring nugroho, pinayoman pinayoman mring Hyang Agung, maha asih mring nugroho`," demikian sepenggal tembang tersebut.

Selagi tembang itu melantun, Supadi yang juga pemimpin grup kesenian "Andong Jiwani" Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, di lereng Gunung Andong, sambil berjalan perlahan di antara pancangan properti sejumlah tiang bambu berbalut kain hitam dengan bercantelkan aneka topeng kayu bertutup kukusan di panggung, melafalkan abjad Jawa.

"`Ha, Na, Ca, Ra, Ka. Da, Ta, Sa, Wa, La. Pa, Dha, Ja, Ya, Nya. Ma, Ga, Ba, Tha, Nga`," demikian lafal yang diucapkannya berulang-ulang, menghasilkan iringan bunyi menyerupai mantra dan menghias suasana pentas refleksi akhir tahun KLG, berdurasi sekitar 1,5 jam itu.

Penyair Dorothea Rosa Herliany dari sudut gelap panggung juga membalut aura pentas refleksi itu melalui pembacaan puisi berbahasa Inggris karyanya "Dancer in the Land of Love".

Tetesan-tetesan air turun dari pucuk dedaunan pepohonan dan sudut berbagai patung batu di Taman Metamorfosa Studio Mendut, ketika malam itu Ismanto yang juga pemimpin grup komunitas "Gadung Mati" Desa Sengi, Kecamatan Dukun, di lereng Gunung Merapi, didampingi anak gadisnya, Sekar, menimpali performa seniman petani dengan mengucapkan berulang-ulang kalimat "`Dha lara`" yang artinya "mereka sakit".

Saat sesi pidato refleksi kebudayaan Lima Gunung, Sitras Anjilin mengemukakan peranan jiwa sebagai inti kehidupan, pusat pikiran dan tindakan setiap manusia, termasuk yang menghasilkan karya budaya.

"Orang sakit jiwa tidak bisa memerintah budi, tindakannya seenaknya saja karena jiwa tidak menjadi kusir atas budi dan panca indera. Saya rasakan tahun 2011 banyak orang tidak menjiwai profesinya. Jiwa kepemimpinan, pedagang, seniman sudah hampa. Mungkin jiwanya bukan sakit jiwa, tetapi mengalami kejenuhan jiwa," katanya.

Ia mengatakan, orang divonis mati jika telah ditinggalkan oleh jiwanya.

Tetapi, Sitras yang juga pemimpin spiritual KLG itu juga menyebut ketidakseimbangan antara jiwa dengan raga membuat banyak orang hidup dalam kecemasan, tanpa pengharapan, dan "makarti" atau tindakannya tidak lurus.

"Kalau satu orang jiwanya tidak stabil, akan memengaruhi lingkungan. Banyak orang jiwanya tidak stabil saat ini. Kita perlu selalu berusaha menyadari dan mengontrol jiwa kita. Saya mengajak meneliti jiwa kita, masih utuh atau berkurang. Masih betul-betul waras atau sedikit ada penyakitnya," katanya.

Melalui "Ritus Ondo Gunung" itu, kalangan petani gunung pun mengajak siapa saja berani bercermin. Mumpung di ujung tahun.
(H018)

Pewarta: M. Hari Atmoko
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2012