Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Kabinet Dipo Alam menegaskan adanya pemberitaan di salah satu media yang mengatakan hubungan Presiden dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa sedang retak adalah tidak benar.
"Itu adalah laporan yang nonsense sama sekali, pemberitaan itu tidak benar," kata Sekretaris Kabinet dalam keterangan pers di hadapan wartawan, di Aula Gedung III Sekretariat Negara, Kamis.
Menurut Dipo Alam, sebenarnya hal itu ketika ada pelantikan duta besar di Istana Negara, Menlu ada di barisan /lapisan kedua.
"Kalau itu dibilang ada kekurangannya, saya yang salah," kata Dipo.
Seharusnya melalui prosedur tetapnya, kata Dipo Alam, kalau tamu negara datang, seperti acara duta besar, maka secara protokoler Menlu harus di depan, setelah Wapres, ketua lembaga negara, tiga Menko, kemudian menlu.
"Kalau diterima di Istana Merdeka, salaman kepala negara seperti itu. Presiden memperkenalkan dulu Menlu, ketiga Menko, Mensesneg, Seskab dan seterusnya," ujar Dipo.
Karena sibuk berdiskusi dan kebetulan pengumuman dengan Presiden itu jaraknya pendek, maka di deretan terdepan itu sudah ada tiga menko terus menteri-menteri lain.
"Jadi, hanya masalah itu, tidak ada kaitannya Menlu berada di (barisan atau lapisan,red) kedua dianggap hubungan Presiden dan Menlu itu retak," tegas Dipo Alam.
Dan yang kurang fair, kata Sekretaris Kabinet, setelah diberikan hak jawab oleh Juru Bicara Kepresidenan Faizasyah, sampai saat ini hak jawabnya belum dimasukkan (dimuat di media).
Sekretaris Kabinet menambahkan, sebagai pejabat yang selalu ikut dengan Presiden hampir setiap hari, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, mengetahui hubungan Presiden dengan Menlu Marty berlangsung setiap hari.
"SMS- nya paling tidak, kalau Menlu ada di luar negeri atau di luar daerah. Atau Presiden di daerah, Menlu ada di sini atau Menlu ada di luar negeri selalu ada komunikasi kepada Presiden, tembusan juga kepada Sesneg, Menko Polhukam, juga kepada Seskab," kata Dipo
Ia beberapa kali mengatakan bohong atau nonsense ketika menjelaskan berita yang ditulis wartawan surat kabar berbahasa Inggris dan kemudian juga koran lainnya bahwa Senayan atau DPR mengetahui atau disebutnya memanfaatkan atau " menggoreng" berita tersebut.
(T.M041/A011)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011