"The human species is living beyond its means on a planet with finite resources". Ungkapan ini mengilustrasikan bahwa makhluk manusia ini telah mulai melakoni aktivitas hidupnya di luar garis batas horizon alam untuk menyokong kehidupan tersebut.

Ini sebagai indikasi tentang mulai terusiknya homeostasi dan resiliensi alam. Resiliensi dimaknai sebagai kapasitas suatu sistem ekologis menyerap gangguan dengan tetap dapat mempertahankan struktur dan fungsinya.

Selanjutnya Pimm (1991) melukiskan bahwa resiliensi adalah gambaran mengenai seberapa cepat suatu sistem ekologi kembali bercokol ke posisi kesetimbangan (ekuilibrium) setelah didera oleh suatu gangguan (perturbation).

Sementara itu, Holling (1973) sebagai pakar pertama yang melakukan pendalaman tentang resiliensi dalam sistem ekologi mendefinisikan bahwa resiliensi sebagai ukuran yang mengilustrasikan seberapa jauh suatu sistem ekologi dapat mengalami gangguan tanpa terjadi perubahan yang mengakibatkan pergeseran ke rezim lain dari sistem ekologi tersebut.

Eksternalitas

Manakala eksternalitas yang memasuki sistem kesetimbangan alam berada dalam kuantitas yang masih dapat ditoleransi, maka niscaya homeostasi ekologis tak akan terusik secara berarti. Homeostasi ekologi bisa diartikan sebagai sebuah kemantapan ekologis yang mapan. Menyiratkan bahwa sistem, fungsi, dan jasa ekologis yang terus dapat berjalan dalam rel kesetimbangan dan kemapanannya.

Dalam kondisi homeostasi, goncangan ekologis akibat internalitas dan eksternalitas tak akan melempar pendulum kesetimbangan menyimpang jauh dari titik ekuilibriumnya sehingga dengan cepat sistem ekologi akan membalikan dirinya kembali pada kondisi normalnya.

Daya lenting (analog dengan resiliensi) dari bandul kesetimbangan alam bisa cepat kembali pulih ke kondisi semula jika eksternalitas yang terinkorporasi dalam suatu hamparan ekologis yang homeostasi tak melebihi daya dukung, daya tampung, dan kapasitas asimilasinya.

Permasalahan eksternalitas yang masuk ke sistem ekologis yang telah mencapai homeostasi ini bukan semata hanya dari sisi kuantitas dan kualitas, yang telah melampaui daya dukung, melainkan juga dari sisi keganjilan (peculiar).

Anasir keganjilan atau asing inilah yang barangkali diistilahkan sebagai xenobiotik, yakni suatu bahan atau senyawa yang asing bagi metabolisme makhluk hidup dan sering tidak dibentuk oleh proses alamiah. PCB (polychlorinated biphynels) adalah contohnya.

Mengingat bahan xenobiotik ini bukan bermuasal dari alam, melainkan produk sintetik, maka proses degradasinya pun acap kali tak mampu dilakoni oleh alam sendiri secara optimum dan paripurna, diperlukan masukan perlakuan tertentu untuk menuntaskan proses dekomposisinya. Bahkan terkadang persistant terhadap degradasi alamiah.

Dari mana bermuasal anasir-anasir ganjil tersebut? Tentu saja ini merupakan wujud kreasi manusia pada era modernitas yang butuh kecepatan, kemudahan, kepraktisan, kenyamanan, dan sebagainya. Plastik, sterofoam, dsb. adalah contoh gamblang dari bahan sintetik yang merajai kehidupan keseharian kita, yang ditemukan tak hanya di daerah perkotaan, pedesaan, pulau terpencil, bahkan juga di hutan. Merajalelanya sampah plastik ini akibat tak adanya regulasi yang membatasi penggunaannya.

Varian dari bahan sintetik ini kian hari makin banyak, seperti kelompok POP (persistent organic pollutant). POP memiliki karakteristik toksik, resistan terhadap degradasi, bioakumulasi, dapat berpindah melalui media air, udara, dan hewan yang beruaya (perpindahan bersama dari satu tempat ke tempat lain, red.).

Permasalahan lingkungan tak pernah dijumpai pada suatu habitat dengan komunitas masyarakat yang masih mengusung dan memegang teguh kearifan alam, yang menggunakan sebagian besar bahan-bahan yang bersumber dari alam, dan tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara tamak.

Terusiknya homeostasi dan resiliensi

Bagaimana wujud dari sudah terusiknya homeostasi dan resiliensi? Kalau dicermati di kala musim hujan, setiap November, Desember, dan Januari kita dihiasi dengan pemberitaan rutin tentang banjir, longsor, gelombang pasang tinggi (rob), dan beraneka rupa bencana alam.

Konsekuensi buruk dari bencana ini tak akan berkepanjangan jikalau homeostasi dan resiliensi alam tidak terdera dengan intens. Banjir yang terkadang bersifat given karena curah hujan yang tinggi, tak akan menyengsarakan manusia secara mencolok dan massal jika badan sungai, selokan, sistem drainase, daerah resapan, dan daerah tangkapan air, telah dipelihara dengan bagus sehingga komponen tersebut akan melakoni perannya masing-masing.

Bahaya dan konsekuensi dari bencana tampaknya tak pernah bisa kita kendalikan. Padahal, itu sudah menjadi sajian tahunan rutin yang menerpa kita. Sepertinya kita tak cukup cerdik memutar kecerdasan untuk memahami dan mengelaborasi fenomena tersebut dan memformulasikan upaya pemecahannya secara sistemik dan komprehensif! Upaya ke arah sana lebih bernuansa sporadis, sektoral, dan simptomik.

Bagaimana suatu sistem ekologis bereaksi terhadap aneka bencana ditentukan oleh beberapa komponen berikut:
1) Sifat dan magnitude (besaran) bahaya bencana,
2) Kerentanan fisik, biologi, dan sosial ekonomi dari receptor (penerima) bahaya,
3) Ketahanan wilayah yang meliputi kecukupan sarana dan prasarana dalam mengantisipasi dan menghadapi bahaya,
4) Formulasi tata ruang yang berpatokan pada identifikasi potensi bahaya, dsb.

Semenjak dulu, kala musim hujan, potensi terjadinya banjir akan tinggi. Demikian pula, sifat dan magnitude banjir adalah berbahaya. Kalau banjir terjadi seketika sebagai akibat massive-nya penggundulan hutan, diperparah dengan berkurangnya daerah tangkapan dan resapan air, serta buruknya sistem drainase karena tak dirawat dengan baik dan akibat tumpukan sampah, serta pemukiman di bantaran sungai, maka kerentanan (vulnerability) terhadap bahaya banjir akan menjadi meninggi.

Minimnya sarana dan prasarana untuk mengantisiasi bahaya dan tata ruang semrawut yang tidak mengindahkan perlunya zonasi berlandaskan peruntukan dan daya dukung (carrying capacity), juga dapat memperparah akibat dari suatu bahaya bencana alam, yang diderita tidak hanya oleh peri kehidupan manusia (antroposentris), sistem biologi (biosentris), tetapi juga oleh sistem ekologis (ekosentris). Masyarakat madani akan lebih kuat menghadapi dan berkelit dari suatu konsekuensi buruk akibat bencana dibandingkan dengan masyarakat subsistem.

Hari-hari belakangan ini kita disuguhi oleh acap kali warta tentang kohesi sosial berupa benturan antara korporasi yang melakukan kegiatan usaha entah perkebunan ataupun pertambangan dengan masyarakat sekitar. Pebisnis lebih mengetengahkan pendekatan formal dengan otoritas pemerintah ketimbang merangkul masyarakat sekitar yang barangkali hanya dianggap sebagai objek.

Ini pun sebagai sebuah potret bahwa resiliensi sosial juga telah terpapar pada eksternalitas yang tak terkelola dengan baik. Konsep inti dan plasma dalam perkebunan tak jarang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pada titik ini social mapping dan need assessment menjadi suatu keniscayaan dalam menjalankan siklus usaha, untuk menangkap gambaran dan antisipasi dini terhadap kemungkinan terjadinya kohesi sosial.
Dari sisi ekologis pemetaan kondisi rona lingkungan awal (environmental baseline assessment), juga trend keharusan pada sektor tertentu untuk melukiskan atlas kondisi lingkungan berikut potensi bahaya yang mungkin akan muncul.

Jadi, pada intinya terusiknya homeostasi dan resiliensi baik ekologis maupun sosial lebih berkenaan dengan ulah manusia (antropogenik) dalam rangka mengakomodasi insatiable desire (keinginan tak terpuaskan) dan cenderung serakah (greedy).

*Penulis Buku "Senarai Bijak Terhadap Alam"

Oleh Hefni Effendi*
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2011