"Produsen harus bertanggung jawab untuk mengatur pengelolaan sampah after consumer, jadi setelah pemakaian. Pengelolaan sampah di sumber yaitu produsen," kata Sri dalam diskusi terkait dampak lingkungan industri tembakau diikuti virtual dari Jakarta, Jumat.
Asisten Direktur Teknologi Lingkungan BPPT periode 1998-2003 itu mengatakan seharusnya perencanaan EPR dilakukan bahkan sebelum produk tersebut dibuat.
Untuk itu dia mendorong peran pemerintah tidak hanya Kementerian Kesehatan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait pengurangan konsumsi produk dan pengelolaan limbahnya.
Baca juga: Peneliti: Sampah puntung rokok ikut sebabkan cemaran mikroplastik
Baca juga: Peneliti: Puntung rokok berkontribusi dalam temuan sampah di pesisir
Selain itu diperlukan juga peningkatan peran Kementerian Perindustrian serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk memasukkan rencana pengelolaan sampah setelah pakai sebagai bagian dari izin produksi.
Menurut narasumber penyusunan UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah itu, langkah tersebut diperlukan agar pengelolaan sampah yang dihasilkan dari industri rokok tidak hanya berfokus pada masyarakat sebagai pemakai.
"Bukan hanya pemakai, tetapi pabrik dan pengedarnya yang harus kita coba ingatkan bagaimana memproduksi sesuatu dengan bertanggung jawab," tuturnya.
Peneliti dari Ecological Oberservation and Wetlands Conservation (ECOTON), Eka Chlara Budiarti, juga menyatakan hal serupa bahwa EPR dibutuhkan untuk mengatasi isu limbah puntung rokok yang bocor ke lingkungan.
Puntung rokok tidak hanya menjadi salah satu jenis sampah yang banyak ditemukan di pesisir tapi juga ikut berkontribusi mencemari lingkungan lewat mikroplastik dan bahan kimia yang terkandung di dalamnya.
"Harusnya ini juga menjadi tanggung jawab industri itu sendiri. Padahal di UU No.18 Tahun 2008 sudah dijelaskan bahwa industri memang harus bertanggung jawab, selain sampah bungkusnya tapi sampah puntung rokok yang sudah dihisap oleh perokok itu juga harus dikelola oleh industri karena hasil produknya tidak bisa terurai di alam," demikian Chlara.
Baca juga: WHO Indonesia ingatkan rokok berdampak terhadap lingkungan
Selain itu diperlukan juga peningkatan peran Kementerian Perindustrian serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk memasukkan rencana pengelolaan sampah setelah pakai sebagai bagian dari izin produksi.
Menurut narasumber penyusunan UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah itu, langkah tersebut diperlukan agar pengelolaan sampah yang dihasilkan dari industri rokok tidak hanya berfokus pada masyarakat sebagai pemakai.
"Bukan hanya pemakai, tetapi pabrik dan pengedarnya yang harus kita coba ingatkan bagaimana memproduksi sesuatu dengan bertanggung jawab," tuturnya.
Peneliti dari Ecological Oberservation and Wetlands Conservation (ECOTON), Eka Chlara Budiarti, juga menyatakan hal serupa bahwa EPR dibutuhkan untuk mengatasi isu limbah puntung rokok yang bocor ke lingkungan.
Puntung rokok tidak hanya menjadi salah satu jenis sampah yang banyak ditemukan di pesisir tapi juga ikut berkontribusi mencemari lingkungan lewat mikroplastik dan bahan kimia yang terkandung di dalamnya.
"Harusnya ini juga menjadi tanggung jawab industri itu sendiri. Padahal di UU No.18 Tahun 2008 sudah dijelaskan bahwa industri memang harus bertanggung jawab, selain sampah bungkusnya tapi sampah puntung rokok yang sudah dihisap oleh perokok itu juga harus dikelola oleh industri karena hasil produknya tidak bisa terurai di alam," demikian Chlara.
Baca juga: WHO Indonesia ingatkan rokok berdampak terhadap lingkungan
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022