Kalau operator seluler cerdas, sebetulnya bisa menggaet potensi nelayan itu lewat paket `close user group` ..."

Surabaya (ANTARA News) - Sawi dan temannya baru saja menaikkan ikan hasil tangkapan dari dalam jaring.

Ikan teri bercampur sotong dan ekor kuning itu dimasukkannya ke dalam keranjang. Satu dua ikan berukuran besar, termasuk kepiting, dipisahkan dari kawanan teri. Setelah itu, tak lupa dibuburi tiga hingga empat genggam garam kasar sebagai pengawet alami.

Dewi Fortuna rupanya sedang berpihak pada Sawi dan kawannya. Mereka adalah nelayan tangkap di perairan Talang, Desa Montok, Kecamatan Larangan dan Candi, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan yang menggunakan bagan.

Pada tangkapan yang keempat atau kedua dari tangkapan terakhir malam itu, Sawi dan kawannya sudah berhasil mengumpulkan tujuh keranjang ikan, umumnya teri.

Malam sudah beranjak ke dini hari pukul 02.30 WIB. Dari tempias lampu yang digerakkan oleh disel terlihat wajah Sawi dan dua temannya sumringah. Tinggal satu kali lagi mereka harus melepas jaring sebelum kemudian membawa hasil tangkapan ke darat pada pukul 03.30 WIB atau 04.00 WIB nanti.

Sawi masuk ke dalam "saung" --tempat berlindung dari angin dan hujan dengan atap anyaman bambu-- di bagian tengah bagan. Di dalam "saung", ia baru saja menghela nafas sejenak. Tiba-tiba telepon selulernya berdering tanda mendapat panggilan.

Sebelum memencet tombol menerima panggilan, setengah berbisik sambil memonyongkan mulutnya, ia berkata kepada temannya, "Sudi telepon!".

"Halo, kamu kok baru sekarang telepon? Kamu dapat berapa? Saya dapat tujuh keranjang," ucap Sawi menjawab telepon.

Percakapan di tengah laut itu menyiratkan rasa bangga dari nada bicara Sawi atas hasil tangkapannya kali ini. Merasa bangga karena malam itu ia tidak salah menempatkan bagan apungnya yang tidak jauh dari kumpulan ikan. Sementara teman yang menghubungi hanya mendapatkan satu keranjang.

"Dari tadi ke mana kamu? Coba dari tadi telepon kan bisa menangkap di sini," ujarnya.

Sawi menyayangkan lawan bicaranya karena dalam 90 hingga 100 menit ke depan perburuan ikan akan segera berakhir. Karenanya tidak mungkin lagi Sudi di ujung sana memindahkan bagan ke dekat lokasi Sawi. Waktunya keburu siang.

Di perairan sebelah timur Kabupaten Pamekasan yang berbatasan dengan perairan Sumenep itu ratusan nelayan bagan menggantungkan hidupnya.

Bagan adalah rangkaian ratusan bambu yang satu sama lain diikat tali. Tiang-tiang bambu penyangga ditancapkan ke dasar laut. Agar tidak mengapung, bambu-bambu yang berfungsi sebagai penyangga dilubangi disetiap ruasnya.

"Rumah" nelayan di tengah laut itu berukuran panjang dan lebar masing-masing sekitar 15 meter. Di bagian atas juga dijejer bambu utuh berjarak satu meter satu sama lain yang berfungsi untuk tempat beraktivitas atau menaruh ranjang ikan, mesin disel untuk lampu dan lainnya.

Sistem kerja penangkapan ikan di bagan ini cukup sederhana. Hanya mengandalkan terangnya lampu untuk mengundang ikan berkumpul. Saat ikan-ikan itu asyik mengitari cahaya lampu, jaring yang sudah ditenggelamkan di bawah lampu bagan ditarik.

Adegan menarik jaring dengan cara digulung inilah yang paling menguras energi. Selain berat, nelayan harus berpacu cepat agar ikan tidak lari lagi keluar jaring.

"Habis menarik jaring, nafas lari ke telinga," tutur Sawi, tersenyum. Ungkapan itu merupakan kiasan bahwa hidung tak mampu lagi menampung keluar masukkanya udara saat nafas terengah-engah.

Untuk menghidupkan lampu, dulu nelayan menggunakan "petromaks" (lampu tekan) yang dimodifikasi agar tahan terhadap terpaan angin kencang. Caranya, jarum untuk mengalirkan minyak tanah ke lampu dibesarkan. Lampu tekan itu kemudian diikat dengan tali dan diturunkan sekitar satu meter dari permukaan air laut di bagian tengah bagan.

Lampu petromaks ini berfungsi ganda. Ia juga digunakan sebagai kompor memasak ikan hasil tangkapan untuk keperluan "sarapan" pada dini hari. Rantang berisi ikan dengan bumbu super sederhana --irisan bawang merah dan garam dicampur air-- diletakkan di atas kap petromaks. Panas lampu itulah yang menjadi kompor.

Perkembangan terus berjalan. Lampu tekan harus rela hati meninggalkan dunia tengah laut yang sudah dilakoninya dengan setia puluhan tahun bersama nelayan bagan.

Lampu tekan harus menerima kenyataan regenerasi digantikan lampu listrik bertenaga disel. Lampu yang digunakan berkekuatan 400 hingga 500 Waat, lebih terang dari petromaks.

Petromaks menjadi "korban" program konversi energi yang digulirkan pemerintah. Apalagi setelah itu harga minyak tanah sebagai energi utama petromaks membumbung tinggi melampaui harga bensin. Untuk memasak, nelayan juga menggunakan kompor listrik atau kompor LPG.

Bukan hanya penggunaan lampu yang berubah. Dalam beberapa tahun terakhir, nelayan tak lagi bertahan dengan bagan tancap. Mereka beralih ke bagan apung yang bisa dibawa kemana nelayan suka.

Bagan apung itu diletakkan di suatu tempat yang diperkirakan banyak ikan. Agar tidak terbawa arus bagan itu menggunakan sauh yang biasa digunakan pada perahu atau kapal.

Satu hal yang tidak mampu diatasi oleh nelayan. Bagan apung selalu bergoyang mengikuti irama ombak. "Kalau tidak kuat, kita bisa mabuk. Saya dulu pernah ikut, semalaman mabuk, sampai keluar cairan kuning dari perut," ungkap Karyo, warga yang pernah ikut melaut.

Awalnya hanya satu dua kelompok nelayan yang menggunakan bagan apung. Lama-lama, bagan tancap yang ada hanya satu dua kelompok nelayan. Semua beralih ke apung.

Bagan tancap itu tetap ada karena alasan biayanya yang lebih murah dari apung.

Kalau bagan apung membutuhkan biaya sekitar Rp15 juga untuk pembelian bambu, tali, drum pengapung dan upah pekerja maka bagan tancap hanya membutuhkan biaya sekitar Rp3 juta. Bagan tancap murah, tapi tidak bisa mengejar tempat ikan berkumpul.

Sawi dan temannya adalah nelayan bagan di perairan Selat Madura di Kabupaten Pamekasan yang memanfaatkan sarana seluler untuk berbagi informasi berkumpulnya ikan.

Pengunaan telepon seluler di kalangan nelayan merupakan dampak dari berlomba-lombanya operator mengeluarkan paket telepon dan SMS serta kartu perdana murah. Sehingga hampir seluruh lapisan masyarakat di negeri ini memiliki komunikasi nirkabel tersebut. Sejalan dengan itu produk HP juga memanjakan masyarakat dengan harga sangat murah dan terjangkau.

"Sekarang sudah biasa berbagi informasi di mana tempat yang banyak ikannya. HP ini sangat membantu kami untuk menangkap ikan," paparnya.

Namun demikian, ia mengaku tidak selamanya perpindahan bagan ke lokasi bagan nelayan lain yang mendapatkan banyak ikan itu berhasil. "Kadang setelah bagan dipindah ke dekat nelayan yang bagannya dapat ikan banyak, kita malah tidak mendapatkan apa-apa," keluh Sairi, nelayan lainnya.

Nelayan di perairan Selat Madura itu memang belum sepenuhnya bisa tersenyum lega. Ketika Sawi dan kawannya satu kelompok bagan tersenyum dengan tangkapan tujuh keranjang ikan itu sebetulnya hasil yang diperoleh tidak terlalu besar juga.

Dengan harga teri Rp14 ribu perkilogram, malam itu mereka hanya menghasilkan sekitar Rp600 ribu. Penghasilan itu akan dibagi tiga, termasuk untuk pemilik bagan. Sawi sendiri bukan pemilik bagan, melainkan hanya pekerja.

Terkadang mereka tidak mendapatkan apa-apa, bahkan merugi karena tidak menutupi biaya operasional yang dalam semalam bisa mencapai Rp100 ribu.

"Itu tidak mesti. Kadang seminggu bisa dapat banyak, kadang tidak mendapatkan apa-apa. Kalau untung semalam bisa mendapatkan di atas satu juta. Malam berikutnya kadang hanya mendapatkan Rp200 ribu atau Rp300 ribu," paparnya.

Mengenai posisi untuk memindah bagan yang ditarik dengan perahu, Sairi mengumpamakan laut itu merupakan halaman bagi para nelayan. Dengan menyebut sejumlah nama tempat, misalnya "Takat", mereka sudah tahu posisi yang harus dituju. Mereka tidak mengenal koordinat atau posisi bintang.

Selain bertukar info kumpulan ikan, telepon seluler juga dimanfaatkan oleh nelayan untuk menghubungi keluarganya di darat. Keluarga di darat bisa diminta menyediakan keranjang tambahan atau pemikul ikan, kalau hasil tangkapan melimpah.

Seluler cerdas
Pengamat telekomunikasi Herry Setiadi Wibowo mengemukakan bahwa banyak hal yang bisa dioptimalkan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan nelayan lewat layanan seluler.

"Kalau operator seluler cerdas, sebetulnya bisa menggaet potensi nelayan itu lewat paket `close user group` (CUG). Misalnya, dengan tarif Rp25 ribu setiap bulan dengan fasilitas telepon dan SMS gratis. Katakanlah di suatu tempat ada 100 nelayan, sudah berapa setiap bulannya," tukasnya.

Peneliti masyarakat pesisir yang juga dosen Universitas Jember (Unej) Drs Kusnadi, MA mengemukakan bahwa sesuai data 2007, di Indonesia saat ini ada 8.090 desa pesisir dengan 4.015.320 nelayan, masyarakat pembudi daya perairan 2.671.400 orang dan pengolah serta pedagang ikan 9.733.280 orang. "Kalau sekarang jumlah itu bisa bertambah," katanya.

Menurut Herry, selain keuntungan tetap setiap bulan, operator seluler bisa mengikat kesetiaan para nelayan lewat paket itu.

"Dengan demikian, kalau ada beberapa nelayan yang tidak menggunakan kartu paket CUG atau tidak sama dengan kartu nelayan kebanyakan di wilayah itu maka mereka akan merasa ketinggalan," tutur penulis masalah seluler ini.

Untuk yang lebih tinggi lagi, nelayan bisa menggunakan perangkat "smartphone", termasuk "android" dan "blackberry". Meskipun terkesan terlalu tinggi untuk nelayan, namun Herry yakin bahwa perangkat seluler cerdas itu bisa dimanfaatkan oleh warga yang umumnya mendiami kawasan pesisir tersebut.

"Saya berpikir positif saja. Nelayan pasti bisa diajari untuk menggunakan perangkat smartphone ini. Lewat aplikasi `Google Latitude`, nelayan bisa berbagi info titik kordinat, posisi dan lainnya saat di tengah laut," kata lelaki yang akrab dipanggil Herry SW ini.

Mengenai harga smartphone, ia mengemukakan bahwa saat ini sudah ada yang di bawah Rp1 juta, sehingga akan terjangkau. Namun menurut dia, akan lebih optimal kalau perangkat itu harganya di atas Rp1 juta.

Menurut dia, sebetulnya ada perangkat lain yang bisa dimanfaatkan untuk penangkapan ikan di laut, namun diakui Herry, hal itu terlalu rumit untuk diterapkan, apalagi untuk nelayan tradisional.

"Peluang ini bukan berarti memanfaatkan nelayan sebagai komoditas barang dagangan semata, tapi ada hubungan yang saling menguntungkan. Nelayan juga akan terbantu dalam usahanya meningkatkan hasil tangkapan ikan," ujarnya.

Selain peluang bagi operator seluler, menurut Herry, potensi jumlah nelayan ini juga dimanfaatkan oleh pembuat aksesoris telepon seluler. Misalnya, membuat selubung (casing) yang kedap air bagi nelayan atau selubung telepon seluler yang bisa mengapung.

Sementara Drs Kusnadi MA mengemukakan bahwa kehidupan nelayan di Indonesia selama ini selalu memenuhi semua keperluan dan urusannya secara sendiri.

"Dalam keadaan susah maupun senang, semua mereka urusi sendiri. Karena itu, nelayan itu merupakan `masyarakat tanpa negara`. Negara ada untuk keperluan nelayan itu, tapi sangat terbatas," kata mahasiswa S3 Universitas Brawijaya, Malang ini.

Lewat kepedulian pihak lain, termasuk operator maka nelayan tidak lagi sendiri dalam mengurusi hajat hidupnya. Dalam batas tertentu, operator bisa mengisi "kekosongan" negara bagi para nelayan ini.

Selain berbagi informasi dengan nelayan sewilayah, nantinya mereka juga dapat saling berbagi informasi dengan nelayan di daerah lain, terutama mengenai harga ikan terkini.

"Selama ini nelayan kan hanya tunduk pada tengkulak untuk menentukan harga karena mereka tidak tahu harga ikan di tempat lain," kata Kusnadi.

Sairi, nelayan di Pamekasan mengaku senang jika ada operator seluler memberikan layanan khusus kepada nelayan. Apalagi jika dalam fasilitas itu nelayan bisa mengakses lokasi-lokasi yang menjadi konsentrasi atau tempat berkumpulnya ikan.
(M026)

Oleh Masuki M Astro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011