Kita sudah 75 tahun merdeka, tapi sampai sekarang belum ada hukum acara perdata buatan sendiri.

Jakarta (ANTARA) - Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Perdata ikut memberi masukan kepada Komisi III DPR.

"Kami sangat menunggu kesempatan ini karena sudah mendapat banyak pertanyaan soal hukum acara perdata yang sudah tidak relevan. Kita sudah 75 tahun merdeka, tapi sampai sekarang belum ada hukum acara perdata buatan sendiri,” kata Sekretaris Jenderal DPN Peradi Hermansyah Dulaimi dalam keterangannya di Jakarta Kamis.

Juru bicara (Jubir) untuk rapat dengar pendapat umum (RDPU) DPN Peradi di Komisi III DPR Rivai Kusumanegara dalam RDPU menyampaikan 49 masukan secara detail untuk RUU Hukum Acara Perdata.

Rivai mengatakan ada 5 hal penting yang menjadi perhatian pihaknya.

Pertama, panggilan sidang melalui juru sita dan delegasi pengadilan negeri (PN) lain, agar diubah dengan pos tercatat dan tanpa delegasi seperti yang telah berjalan di PTUN dan pengadilan agama.

Menurutnya, cara delegasi memperlama dan rumit, begitu juga penyampaian oleh juru sita berdampak pada besarnya biaya perkara, terutama di daerah-daerah yang wilayah hukum pengadilan negerinya meliputi beberapa kabupaten.

“Dalam pengamatan kami, cara pemanggilan dengan juru sita ini membuat biaya sangat mahal. Kalau di Jakarta, biaya perkara cukup Rp5 juta, tapi di Kalteng atau Papua itu bisa mencapai Rp25 juta jika para pihaknya banyak,” katanya.

Padahal, saat ini menurut dia, jasa PT Pos Indonesia sudah sangat baik, berbeda dengan zaman lahirnya hukum acara warisan Belanda.

Kedua, pelelangan oleh PN selama ini kurang diminati masyarakat, karena pemenang lelang masih harus mengeluarkan biaya pengosongan dengan kemungkinan gagal akibat gangguan di lapangan.

Ketiga, tahapan upaya hukum agar dikurangi dan tidak seperti saat ini yang masih sampai empat tahap. Masyarakat lelah menunggu sengketanya selesai dan berdampak pada biaya dan waktu.

Keempat, katanya lagi, eksekusi sebaiknya dilakukan tanpa delegasi melalui PN lain, karena selain lama dan rumit juga berpotensi terdapat perlawanan yang akan ditangani PN delegasi, sedang berkas perkara pokok berada di PN pemutus. Penyederhanaan sistem eksekusi ini diharapkan dapat menaikkan indeks EDB Indonesia.

“Kelima, e-Court belum diakomodir RUU ini dan model panggilan dengan penempelan pada papan pengumuman PN dan kantor bupati bisa digantikan dengan penayangan pada website PN,” katanya pula.

Atas 49 masukan ini, Komisi III DPR termasuk para wakil dari fraksi-fraksi partai politik menyampaikan apresiasi dan meminta DPN Peradi terus mengikuti proses dan memberikan masukan dalam pembahasan RUU tersebut.

“Peradi menyambut baik tawaran pihak DPR karena stakeholder utama RUU Hukum Acara Perdata adalah advokat dan hakim, sehingga Peradi berkepentingan memajukan hukum acara perdata ini,” ujar Rivai.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir menyebutkan DPR mengundang DPN Peradi untuk mendiskusikan hal-hal yang penting dibahas dalam RUU Hukum Acara Perdata.

“Tujuan kami mengundang Peradi untuk berdiskusi dan menerima masukan mengenai pasal-pasal krusial untuk dibahas Komisi III dan Pemerintah,” kata Adies Kadir.
Baca juga: DPR RI dengarkan masukan Peradi terkait RUU Hukum Acara Perdata
Baca juga: APHK susun naskah akademik RUU Perikatan demi pembaruan KUH Perdata

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2022