Jakarta (ANTARA News) - Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI Mohammad Jafar Hafsah menilai kasus kerusuhan di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) harus menjadi pembelajaran penting dalam pelaksanaan perundang-undangan.
"Saya telah menginstruksikan anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI dari Provinsi NTB guna meninjau lokasi, serta melakukan konsolidasi dan koordinasi dengan pemerintah setempat terkait kasus kerusuhan di Pelabuhan Sape," kata Mohammad Jafar Hafsah melalui surat elektronik, Minggu malam.
Mohammad Jafar Hafsah saat ini sedang berada di Makassar, Sulawesi Selatan, guna melaksanakan tugas-tugas di daerah pemilihannya pada masa reses.
Menurut Jafar, sebagai pimpinan fraksi ketika mendengar kabar adanya kerusuhan di Pelabuhan Sape, dirinya langsung melakukan komunikasi dan konsolidasi, terutama dengan anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, yang membidangi pertambangan dan energi untuk memperoleh informasi yang lebih komprehensif.
Selanjutnya, Jafar langsung menginstruksikan anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI dari daerah pemilihan Bima, NTB, yakni Abdurahman Abdullah dan Nanang Samodra, untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat guna melakukan langkah-langkah konkret dalam penanganan dan penyelesaian insiden di Sape maupun persoalan lainnya.
"Kami sudah konsolidasi dengan anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat dan mudah-mudahan, pekan depan kita akan berkunjung ke Sape," katanya.
Menurut dia, kunjungan tersebut apakah akan dilakukan oleh Fraksi Partai Demokrat atau Fraksi Partai Demokrat bergabung dengan Komisi VII DPR RI.
Fraksi Partai Demokrat DPR RI, kata dia, sangat peduli dengan insiden seperti yang terjadi di Sape, Bima, NTB.
"Kebetulan Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat," katanya.
Menurut Jafar, kasus Sape hendaknya bisa menjadi pembelajaran penting bagi Pemerintah Daerah Bima maupun pemerintah daerah lainnya agar melaksanakan amanah perundang-undangan dengan semestinya.
Dalam program pembangunan nasional, menurut dia, salah satu sektor yang dominan memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara adalah sektor tambang baik mineral, migas, emas dan lainnya.
Pada UUD 1945 pasal 33, kata dia, telah mengamanahkan bahwa kekayaan alam yang terkandung di bumi, laut, dan sebagainya yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara.
"Artinya, semua itu untuk kemaslahatan rakyat," katanya.
Sesuai amanah UUD 1945, kata Jafar, pemberian izin usaha pertambangan dan proses eksplorasinya agar selalu dengan pendekatan untuk kesejahteraan rakyat.
Ia menambahkan, kalau amanah UUD 1945 itu dilaksanakan dengan baik, maka kerusuhan di Pelabuhan Sape tidak akan terjadi.
Jafar menegaskan, perusahaan pertambangan yang perizinannya diberikan pemerintah, baik pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, hingga Kementerian ESDM harus didasarkan pada regulasi yang ada.
"Regulasi harus kuat mulai dari undang-undang sampai ke peraturan daerah," katanya.
Guna mencegah agar tidak terjadi kerusuhan seperti di Sape, kata dia, perlu diperhatikan implementasi dari regulasi tersebut.
Menurut dia, pemerintah yang memberi izin harus benar-benar mempertimbangkan bahwa perusahaan pertambangan itu layak dan memperhatikan kepentingan rakyat.
Di sisi lain, kata dia, perusahaan pertambangan juga harus bisa mensosialisasikan dan melibatkan masyarakat sekitar dengan baik, seperti melalui program "corporate social responsibility" (CSR).
Izin yang diberikan pemerintah, kata dia, harus konkret mana lahan milik pemerintah, lahan hutan lindung, dan lahan milik masyarakat termasuk hak tanah adat dan sebagainya, harus diselesaikan sebaik mungkin.
"Tidak boleh main gusur begitu saja," katanya.
Jika dalam prosesnya terjadi sengketa, kata Jafar, maka pemerintah dan perusahaan harus bisa menyelesaikannya sebaik mungkin sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku.
(T.R024/I007)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011