Jayapura (ANTARA News) - Penyelesaian konflik antara masyarakat adat dengan PT Freeport Indonesia harus dilakukan secara adil dan bijaksana dengan mendegarkan aspirasi dan tuntutan masyarakat di daerah itu.
Pelaksana Tugas Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Papua, Matias Sarwa, kepada ANTARA di Jayapura, Rabu mengakui, pemalangan terhadap aktifitas PT Freeport itu masalah "perut", karena masyarakat adat selama ini tidak diperhatikan secara baik.
Menurut Matias, PT Freeport harus mengakui tindakan yang dilakukan masyarakat adat di Tembagapura, Timika, karena selama ini mereka merasa kurang mendapat perhatian dalam hal kesejahteraan dari pihak perusahaan.
Keberadaan PT Freeport di Papua bagaikan seekor sapi, dan tambang yang dikeruk itu seperti susu, namun setelah mendapat susu yang banyak lalu upa kepada pemiliknya.
Hal itu yang kini terjadi, sehingga kta Matias, semua pihak yang berkompoten baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua melalui Gubernur, DPR Papua, MRP serta PT Freeport sendiri, menyelesaikan masalah pemalangan itu dengan kepala yang dingin.
Matias juga mengakui, masalah kecemburuan sosial antara masyarakat asli dan non asli yang bekerja di PT Freeport itu tidak sebanding, karena mulai dari tukang sapu hingga direktur berdasi semuanya orang non Papua sehingga selalu menimbulkan masalah.
Kondisi itu tidak pernah disadari dan diperhatikan secara baik oleh Pemerintah Pusat, Pemprov Papua maupun pihak perusahan, akibatnya masalah yang timbul tidak dapat diredam, karena jumlah tenaga kerja orang Papua sangat sedikit bila dibandingkan dengan non Papua.
Keberpihakan terhadap orang asli Papua, khususnya tujuh suku pemilik hak adat itu, tidak nampak terutama masalah kesejahteraan mereka tidak diperhatikan secara baik.
Oleh karena itu tuntutan masyarakat tentang berapa persen yang akan diberikan pihak perusahan harus didengar dan digubris, sehingga tidak menimbulkan masalah yang berkepanjangan, karena dampaknya sangat besar, apabila PT Freeport ditutup.
Matias meminta kepada manajemen perusahan agar selalu membuka diri, untuk memberitahukan berapa besar tambang tembaga, emas, dan perak yang sudah dikeruk yang dibawah keluar negeri, bahkan ke depan masyarakat pemilik hak adat juga harus dilibatkan dalam mengawasi aktifitas perusahan.
Komitmen perusahan dari awal melalui kontrak kerja harus dipegang, sehingga tidak melakukan penambangan di luar kontrak kerja tersebut, agar tidak menimbulkan masalah.
Karyawan yang bekerja juga harus memprioritaskan tenaga asli Papua, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial seperti yang selama ini terjadi.
Banyak sekali hasil tambang tembaga, emas, perak, nikel yang sudah dibawah keluar Papua, namun hasilnya tidak dinikmati secara baik oleh rakyat Papua terutama masyarakat pemilik hak ulayat tujuh suku yang ada di Timika.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006