Malang (ANTARA News) - Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih, mengemukakan bahwa dalam enam tahun terakhir kasus perdagangan anak (trafficking) sudah mencapai angka seribu jiwa.

"Perdagangan anak ini masih menjadi mimpi buruk bangsa Indonesia, bahkan anak-anak yang menjadi korban trafficking ini bukan hanya anak perempuan, tapi juga laki-laki," katanya dalam Simposium "Pengarustamaan Hak Anak dalam Mewujudkan Generasi Sehat dan Berdaya Saing Unggul" di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dome, Sabtu.

Ia menyebutkan, anak laki-laki yang menjadi korban trafficking selama enam tahun terakhir sebanyak 151 anak dan perempuan mencapai 772 anak.

Kasus trafficking, menurut dia, tidak hanya disebabkan oleh faktor kesehatan, tapi juga ada faktor dominan lainnya, yakni kemiskinan dan rendahnya pendidikan di lingkungan masyarakat.

Menurut Menkes, ada 10 daerah yang rawan terhadap kasus "trafficking", baik sebagai kota pengirim, transit maupun tujuan, yakni Sumatera Utara, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, NTB, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara.

Ia mengatakan, dampak dari perdagangan anak tersebut terhadap kesehatan adalah munculnya penyakit menular seksual secara luas, seperti sipilis, GO dan penyebaran virus sekaligus sindroma perapuh kekebalan tubuh (HIV/AIDS).

Selain masalah perdagangan anak, katanya, yang masih menajdi mimpi buruk bangsa Indonesia dan harus segera diperbaiki adalah masalah angka kematian bayi dan balita.

Saat ini angka kematian bayi masih cukup tinggi, yakni 34 kasus dalam setiap 1000 kelahiran hidup, dan untuk balita mencapai 44 kasus untuk 1.000 kelahiran hidup. Selama lima tahun ke depan ditargetkan menurun masing-masing menjadi 23 kasus dari 1.000 kelahiran hidup dan 32 kasus dalam 1.000 kelahiran hidup.

Penyebab utama tingginya angka kematian bayi dan balita, dikatakanya, adalah gangguan pada saat neonatal dan penyakit infeksi, seperti diare dan pnumonia serta kekurangan gizi (gizi buruk).

"Saat ini kita juga masih dihadapkan pada masalah kesehatan anak secara layak, yakni tumbuh kembang balita, kesehatan usia sekolah dan remaja, seperti merokok, narkoba, seks bebas, dan HIV/AIDS," ujarnya.

Kelompok umur pertama kali merasakan rokok pada usia 10-14 tahun mengalami peningkatan dari 10 persen menjadi 17,5 persen dan umur 15-19 tahun meningkat dari 33 persen menjadi 43,3 persen.

Sedangkan, kasus HIV/AIDS, lanjutnya, pada triwulan pertama 2011, 33 persen terjadi pada kelompok umur 20-29 tahun dan cara penularannya tertinggi terjadi akibat hubungan heteroseksual (66,90 persen), yang disusul oleh jarum suntik.

"Kita berharap dengan gencarnya sosialisasi bahayanya HIV/AIDS kepada seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali pelajar, penularannya dapat kita cegah dan diminimalkan," ujarnya menambahkan.
(T.E009/Y008)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011