Kupang (ANTARA News) - Jajaran Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) sedang mendalami kemungkinan unsur pidana dalam kasus "pembelian" tanah di Pulau Bidadari yang melibatkan seorang warga negara Inggris, Ernest Lewan Dawski.
"Kami masih dalami kemungkinan ke arah itu (unsur pidana) sesuai data-data yang terhimpun. Kami juga memberi perhatian serius terhadap masalah itu," kata Kapolda NTT, Brigjen Polisi Drs Belarminus Sadarum, SH, di Kupang, Rabu.
Berdasarkan fakta-fakta lapangan yang didukung bukti beberapa lembar kwitansi jual-beli, Lewan Dawski menyerahkan uang tunai sebesar Rp297 juta sesuai nilai yang tertera dalam beberapa kwitansi kepada Haji Mahmud.
Mahmud merupakan "hamente" atau sebutan bagi orang yang dianggap sebagai kepala suku di daerah itu yang mengklaim sebagai pemilik tanah di pulau itu.
Namun, pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi NTT menganggap transaksi jual-beli tanah di Pulau Bidadari itu ilegal atau tidak syah menurut ketentuan perundangan-undangan karena kedua belah pihak tidak memiliki kewenangan.
Warga asing itu tidak berhak memiliki tanah di Indonesia dan Mahmud juga tidak berkewenangan menjual tanah-tanah di pulau itu karena bukan tanah milik yang ditunjang dokumen resmi.
"Warga asing tidak berhak memiliki tanah di Indonesia, namun jika ia mendapatkan dari orang yang merasa sebagai pemilik tanah tanpa bukti dokumen maka dianggap ilegal. Perlu kejelasan status tanah itu," kata Kepala Kantor Wilayah BPN NTT, Dicky SM Pelt.
Kapolda Sadarum mengakui dari data-data itu pihaknya perlu mendalami kemungkinan unsur pidana di balik kasus pembelian tanah di Pulau Bidadari.
Hanya saja ia belum menyatakan kasus pembelian tanah secara ilegal itu layak diproses hukum karena masih mempertimbangkan kelanjutan investasi asing di daerah itu.
"Dari informasi yang kami himpun ternyata proses investasi itu legal karena didukung sejumlah dokumen resmi. Kalau di kemudian hari ada unsur pidananya ya......kita proses," ujarnya.
Dia membenarkan warga Inggris itu telah mengantongi izin penggunaan lokasi disertai rekomendasi kelayakan usaha pariwisata dari dinas teknis terkait di jajaran Pemerintah Kabupaten Manggarai.
Investor itu pun telah memiliki Surat Persetujuan (SP) Penanaman Modal Asing (PMA) Nomor 111/II/PMA/2001 tertanggal 18 April 2001 dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Izin Usaha Tetap (IUT) Nomor 364/t/Perseni/2001 tanggal 16 Juni 2001.
Bupati Manggarai, Drs Antony Bagul Dagur (saat itu wilayah Labuanbajo
masih tergabung dalam Kabupaten Manggarai) menerbitkan surat izin Nomor HK/62/2003 tanggal 12 Juni 2003 tentang Pemberian Izin Pembangunan Resort Perhotelan di atas tanah seluas lima hektar.
Sebelum diterbitkan izin pembangunan hotel terlebih dahulu diterbitkan izin konservasi pantai dan laut di Pulau Bidadari Nomor Pb.050/678/VI/2003 tertanggal 9 Juni 2003.
Dalam izin konservasi itu, Lewan Dawski diwajibkan mematuhi sejumlah persyaratan yakni memenuhi peruntukkan penggunaan tanah di Pulau Bidadari seluas 5,4 hektar untuk sempadan pantai dengan melakukan konservasi pesisir laut oleh badan hukum tersendiri yang ada dalam pengelolaannya.
Lewan Dawski juga berkewajiban memperhatikan lahan seluas dua hektar untuk kepentingan Pemerintah Kabupaten Manggarai dan lahan seluas tiga hektar untuk penghijauan/konservasi yang dilakukan badan hukum tersendiri.
Dengan demikian, Lewan Dawski hanya diperbolehkan menggunakan lahan seluas lima hektar dari luas keseluruhan 15,4 hektar Pulau Bidadari itu sesuai SP PMA.
"Dari aspek investasi tidak ada masalah, kalau pun ada pembelian tanah yang tidak resmi tentu akan disikapi secara baik sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku," kata Sadarum.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006