Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah organisasi non pemerintah yang menamakan diri Front Rakyat Anti Korupsi (FRAK) meminta pemerintah mengabaikan kasus surat Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi karena dinilai tidak terlalu penting dan sebaliknya lebih berkonsentrasi pada upaya pemberantasan korupsi. "Sekalipun surat Sudi itu asli, tidak ada masalah karena tidak menentukan apapun. Jadi, sudahlah. Ada kasus korupsi yang lebih kongkrit, jelas tersangkanya, jelas kerugian negaranya, itu yang harus diprioritaskan," kata Juru Bicara FRAK Habiburokhman di Jakarta, Rabu. FRAK yang terdiri dari LBH BUMN, Komunitas Masyarakat Perbankan Anti Korupsi, Forum Serikat Kerja BUMN Bersatu, Pemantau Peradilan Indonesia dan Gerakan Pemuda Kerakyatan kepada pers di Jakarta, Rabu, menilai kasus surat Sudi tidak mengandung delik pidana korupsi maupun yang lain. "Dalam kasus ini unsur pidana korupsi yakni melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan menimbulkan kerugian negara tidak terpenuhi," kata Habiburokhman. Selain itu, katanya, tindakan Sudi juga tidak bisa dikategorikan sebagai percobaan melakukan tindak pidana korupsi karena dalam konteks ini harus benar-benar bisa dibuktikan bahwa perbuatan permulaan tersebut benar-benar awal dari perbuatan pidana keseluruhan dan sama sekali bukan perbuatan yang lain. FRAK menilai, tindakan Sudi yang mengarahkan surat tersebut pada Menteri Luar Negeri sudah benar, tidak melanggar azas hukum, tidak bertentangan dengan azas keterbukaan, serta tidak melanggar azas profesionalitas dan azas akuntabilitas. "Tidak ada tugas Sekretaris Kabinet yang dilanggar Sudi Silalahi dengan mengirim surat tersebut, malah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk bantuan teknis dan administrasi yang memang menjadi tugas sekretaris kabinet," katanya. Menurut FRAK, penegakan hukum hendaknya disandarkan pada nilai-nilai validitas dan bukti-bukti kongkrit guna menciptakan kepastian hukum. Menurut mereka, jika prasangka, kecurigaan dan pengindikasian dijadikan alat ukur penegakan hukum maka penegakan hukum menjadi anarkhis, tidak terkendali, dan merusak hubungan sosial. "Statemen-statemen sebagian politisi yang mengatakan surat Sudi Silalahi ini terindikasi korupsi, berbau korupsi, beraroma korupsi tanpa menyodorkan bukti kongkrit jelas sama sekali tidak mendidik bahkan cenderung membodohi publik," kata Habiburokhman. Oleh karena itu, menurut FRAK, sebaiknya pemerintah tidak menghabiskan energi dengan surat Sudi sehingga tugas pemberantasan korupsi yang masih butuh banyak energi justru terbengkalai. "Pemerintah harus menentukan prioritas dalam program pemberantasan korupsi yang dilakukan. Penentuan prioritas perlu dilakukan mengingat begitu terbatasnya sumber daya yang dimiliki pemerintah untuk menjalankan tugasnya tersebut," katanya. Ditanya tentang indikasi kolusi dalam surat Sudi, Arief Poyuono dari LBH BUMN menyetakan, praktik kolusi juga terjadi di negara maju, namun selama hasilnya lebih menjamin kepastian dan bisa dipertanggungjawabkan tidak menjadi masalah. "Ini berbeda dengan korupsi yang jelas-jelas tindak pidana," katanya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006