Jakarta (ANTARA News) - Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama menjanjikan corak kemitraan AS yang baru dengan Timur Tengah sebagai awal diplomasi yang berakar dari "saling hormat dan berbagi kepentingan".
Obama mengatakan, Amerika Serikat "mengulurkan tangan untuk mempererat persahabatan" dengan Timur Tengah dan dunia Muslim pada umumnya, serta menginginkan suatu hubungan baru yang berakar dari rasa saling menghormati dan memiliki kesamaan kepentingan.
"Apa yang akan Anda saksikan adalah seseorang yang mau mendengarkan," katanya, dikutip dalam siaran pers Kedubes, AS, di Jakarta Kamis.
"Tugas saya untuk dunia Muslim adalah menyampaikan bahwa rakyat Amerika bukanlah musuh Anda. Kadang-kadang kami membuat kesalahan. Kami tidaklah sempurna," ujar Obama dalam sebuah wawancara dengan al-Arabiya, jaringan satelit Arab Saudi yang berbasis di Dubai, 26 Januari lalu - yang merupakan wawancara pertamanya sejak dilantik menjadi presiden AS.
"Amerika tidak lahir sebagai penjajah, dan tidak ada alasan mengapa kami tidak bisa memulihkan rasa hormat dan kemitraan yang Amerika miliki terhadap dunia Muslim sekitar 20 atau 30 tahun lalu," lanjutnya.
Selain menorehkan sejarah sebagai presiden kulit hitam pertama AS, Obama juga merupakan pemimpin AS pertama yang pernah menghabiskan sebagian masa kanak-kanaknya di Indonesia - negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia - suatu periode yang disebut Obama dalam dua bukunya yang menjadi bestseller, "Dreams from My Father" dan "The Audacity of Hope".
"Ada anggota keluarga saya yang beragama Islam. Saya pun pernah tinggal di negara Muslim," ujar Obama.
"Dari seluruh perjalanan yang pernah saya lakukan di dunia Muslim, saya menjadi paham bahwa apapun keyakinan Anda - dan perlu diingat bahwa di Amerika ada umat Islam, Yahudi, Kristen dan mereka yang tidak beragama - apapun keyakinan Anda, semua orang memiliki sejumlah kesamaan dalam harapan dan impian mereka."
Wawancara Obama ini dilakukan saat ia mengirim utusan khusus George Mitchell ke Timur Tengah, sebuah langkah yang mencerminkan komitmen pemerintahannya untuk mengonsolidasikan sebuah gencatan senjata di Jalur Gaza dan memperbarui komitmen AS dalam mencapai solusi dua-negara sebagai penyelesaian konflik Israel-Palestina.
"Kita tak akan menunggu sampai akhir pemerintahan saya untuk menciptakan perdamaian antara Palestina dan Israel. Kita akan mulai dari sekarang," kata Obama.
"Saya yakin kita dapat menyaksikan negara Palestina ... yang hidup bertetangga, yang membebaskan warganya untuk bergerak, yang menjalin perdagangan dengan negara-negara lain, yang memungkinkan terciptanya berbagai kegiatan usaha sehingga rakyatnya memiliki kehidupan yang lebih baik," lanjut Obama.
Sementara itu, juru bicara Deplu AS Robert Wood mengatakan bahwa Mitchell, yang merupakan seorang
mantan pemimpin Senat, penggagas perdamaian di Irlandia Utara dan penulis laporan penting mengenai perdamaian di Timur Tengah yang dirilis tahun 2001 lalu, melakukan kunjungan ke Mesir, Israel, Tepi Barat, Yordania dan Arab Saudi.
"Saya katakan padanya untuk mulai dengan mendengarkan, karena sering kali Amerika Serikat mulai dengan mendikte," kata Obama. "Yang terpenting dari semua pembicaraan dan perbincangan ini adalah: Akankah nasib anak-anak di wilayah Palestina menjadi lebih baik? Apakah mereka memiliki masa depan? Apakah anak-anak di Israel dapat merasa yakin akan keselamatan dan keamanan mereka? Apabila kita bisa terus
memfokuskan diri untuk memperbaiki nasib mereka dan menatap ke depan, bukan sekedar merenungi semua konflik dan tragedi yang terjadi di masa lalu, saya yakin kita memiliki kesempatan untuk membuat perubahan yang nyata," kata Obama.
Menurut Obama, membangun kembali proses perdamaian akan membutuhkan waktu dan kerjasama diplomatik yang erat dengan Rusia, Uni Eropa dan PBB, serta kesediaan untuk duduk bersama para pemimpin Arab untuk memikirkan tantangan-tantangan lebih luas yang dihadapi Timur Tengah.
"Mustahil bagi kita hanya fokus pada masalah konflik Palestina-Israel tanpa melihat apa yang tengah terjadi di Suriah atau Iran atau Lebanon atau Afganistan dan Pakistan. "Semua hal ini saling berkaitan," kata Obama. "Yang ingin kita lakukan adalah mendengarkan, mengesampingkan prasangka yang telah lama ada dan terbentuk selama beberapa tahun belakangan ini. Dan menurut saya, jika kita melakukannya, maka setidaknya ada kemungkinan untuk mencapai beberapa terobosan."
Obama menambahkan bahwa tindakan harus lebih nyata daripada kata-kata, mengacu pada upaya-upaya yang segera dilakukan untuk menentukan arah kebijakan baru dengan terus menjalankan rencana penarikan pasukan AS dari Irak sekaligus memperbaiki upaya-upaya kontraterorisme AS dengan menutup pusat penahanan di Teluk Guantanamo.
Kemudian meluruskan pandangan yang salah yang dilontarkan oleh para ekstrimis bahwa perjuangan Amerika melawan terrorisme adalah apa yang disebut dengan "perang melawan Islam."
Ia juga berkata bahwa Amerika Serikat harus "bersedia berbicara dengan Iran". Obama berjanji bahwa pemerintahannya akan menyusun sebuah kerangka pembahasan mengenai hal tersebut dalam beberapa bulan yang akan datang.
"Iran telah bertindak sedemikian rupa yang menyebabkan tidak kondusifnya upaya perdamaian dan kesejahteraan di kawasan ini: ancaman mereka terhadap Israel, upaya mereka mengembangkan senjata nuklir yang dapat memicu perlombaan senjata di kawasan dan membahayakan umat manusia, dukungan mereka terhadap organisasi teroris di masa lalu, - semuanya ini tidak kondusif," kata Obama.
"Seperti yang pernah saya katakan dalam pidato pelantikan saya, jika negara-negara seperti Iran bersedia membuka diri mereka, maka mereka akan kami rangkul," demikian Obama.
(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009