Jakarta (ANTARA) - Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (UI) Hurriyah menyatakan pentingnya membuka masukan publik dan semua pihak terkait dalam penyusunan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Pengawasan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).
Hal itu menurut pengamat kebijakan publik tersebut dalam keterangannya di Jakarta, Rabu guna memastikan terpenuhinya prinsip-prinsip kebijakan publik yang baik, aspiratif, dan tepat sasaran.
"Penting pula mengkaji lagi apakah Permentan soal pengawasan RPIH yang telah disahkan memang diperlukan," ujarnya menanggapi perdebatan terkait Permentan tentang Pengawasan RIPH.
Menurut dia perdebatan soal aturan karantina yang mensyaratkan adanya RIPH menarik karena dua hal pertama, kemungkinan friksi antar aturan dan kedua, kemungkinan tidak terakomodasinya kepentingan pihak-pihak tertentu dari aturan baru soal importasi.
Dalam ranah pertama, Hurriyah menilai perlu identifikasi yang jelas mengenai bidang-bidang aturan, hal itu bisa dilakukan jika ada anatomi yang jelas mengenai fungsi-fungsi badan dalam kementerian itu sendiri.
"Jadi perdebatannya kan soal apakah tepat memasukkan RIPH sebagai syarat pemeriksaan di Karantina. Nah menurut saya harus dipetakan dan diidentifikasi dengan jelas ranah masing-masing, antara ranah karantina dan ranah RIPH. Kalau tidak nyambung ya jangan dipaksakan," ujarnya.
Baca juga: Pengamat nilai Rancangan Permentan RIPH mengandung persoalan
Identifikasi itu penting, tambahnya, sebagai awal pembentukan kebijakan publik yang memadai (proper) dalam perspektif politik kebijakan. Sebab, kebijakan publik adalah produk hukum yang merupakan manifestasi dari politik dalam perspektif alokasi dan distribusi kewenangan.
"Nah, alokasi dan distribusi kewenangan itu juga harus tertib agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan juga untuk menghindari over-authority dari sebuah badan atau lembaga pemerintah," ujar Dosen Ilmu Politik UI itu.
Kewenangan yang tumpang tindih maupun over-authority menurut Hurriyah selain bisa mengakibatkan kerumitan birokrasi juga akan memunculkan potensi korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Padahal tujuan dari perubahan aturan importasi adalah menyederhanakan birokrasi dan mengurangi potensi korupsi.
"Semangat meniadakan kebijakan RPIH kan karena implementasinya selama ini memunculkan dua masalah tersebut (keruwetan birokrasi dan potensi korupsi), makanya dibuat aturan baru untuk meniadakan RPIH sebagai syarat importasi," katanya.
Sedangkan hal kedua yang menarik adalah mengenai kemungkinan adanya potensi kepentingan yang tidak terakomodasi karena perubahan aturan importasi produk hortikultura tersebut.
Baca juga: Asosiasi eksportir-importir buah siap gugat izin impor diskriminatif
Dalam hal ini, lanjutnya perubahan kebijakan pasti akan mengubah distribusi beban kerja dan keuntungan yang mungkin didapat masing-masing aktor,namun yang tetap harus diutamakan adalah kepentingan lembaga dan kepentingan publik.
Dalam hal RIPH, menurut dia, tujuan awalnya adalah untuk menjaga mengatur pasokan impor agar produsen dalam negeri terlindungi dan bisa tetap berdaya di pasar domestik.
"Untuk itu, perlu dipikirkan bagaimana kepentingan lembaga dan kepentingan publik di bidang itu bisa tetap dijaga lewat instrumen lain selain RIPH," katanya.
Terkait hal itu menurut Hurriyah, penting bagi Balitbang Pertanian untuk bekerjasama dengan BRIN dan lembaga riset lain untuk mengembangkan produk-produk domestik yang kuantitas dan kualitasnya bisa bersaing dengan produk impor.
Pewarta: Subagyo
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2022