Jakarta (ANTARA News) - Kementerian BUMN telah memberi persetujuan restrukturisasi piutang PT Pertamina (Persero) di PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI).
Persetujuan tersebut tercantum dalam Surat Kementerian BUMN Nomor S-399/MBU.2/2011 tertanggal 20 Desember 2011 yang diperoleh di Jakarta, Jumat.
Surat ditandatangani Deputi Bidang Usaha Industri Strategis dan Manufaktur Kementerian BUMN Irnanda Laksanawan yang mengatasnamakan Menteri BUMN Dahlan Iskan dengan tujuan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan.
Sebagai tembusan surat adalah Menteri BUMN, Wakil Menteri BUMN, Sekretaris Kementerian BUMN, dan Dewan Komisaris Pertamina.
Surat tersebut merupakan balasan atas Surat Dirut Pertamina No 773/C00000/2011-S0 tertanggal 16 Desember 2011 yang memohon persetujuan restrukturisasi.
Selain itu, surat juga memperhatikan Memorandum Dewan Komisaris Pertamina Nomor 787/K/DK/2011 tertanggal 15 Desember 2011, Anggaran Dasar Perseroan Pasal 11 Ayat 10 Butir C, dan Keputusan Menteri BUMN No KEP-236/MBU/2011 tanggal 15 November 2011.
"Dengan ini kami sampaikan bahwa kami dapat memberikan persetujuan kepada Saudara untuk menandatangani Master Restructuring Agreement (MRA) dalam rangka penyelesaian piutang Pertamina di TPPI," sebut Irnanda dalam suratnya.
Namun demikian, sebutnya lagi, MRA tersebut hanya dapat dinyatakan efektif berlaku setelah mendapatkan rekomendasi dari Jaksa Pengacara Negara dan berdasarkan hasil rekonsialiasi piutang yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mempertanyakan, persetujuan MRA kepada Pertamina yang hanya dilakukan Deputi Kementerian BUMN.
"Idealnya adalah Menteri BUMN," katanya.
Meski, ia menilai, skema MRA sudah cukup memadai bagi keduanya.
"Untuk skema saya kira opsi terbaik yang dapat dilaksanakan saat ini," katanya.
Menurut Komaidi, persetujuan yang bernilai triliunan dan strategis seperti halnya MRA TPPI tersebut semestinya langsung dilakukan Menteri BUMN.
Meskipun, lanjutnya, keputusan tersebut sudah sesuai prosedur internal Kementerian BUMN, tetap semestinya melalui persetujuan pemimpin tertinggi.
"Karenanya, perlu penjelasan kepada publik agar tidak ada salah paham terkait langkah tersebut," ujarnya.
Komaidi juga menambahkan, sejak awal, permasalahan TPPI tidak hanya bisnis semata.
"Kasus ini cenderung jauh dari logika bisnis," ujarnya.
Pada Jumat ini, dilakukan penandatanganan dokumen Master of Restructuring Agreement (MRA) antara TPPI dengan PT Pertamina (Persero), Menteri Keuangan cq PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), dan Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
MRA merupakan payung restrukturisasi utang induk usaha TPPI, PT Tuban Petrochemical Industries, yang akan memperoleh pendanaan dari Deutsche Bank.
Skema MRA-nya berupa pembayaran tunai dengan nilai 400 juta dolar dan Rp1 triliun.
Nilai utang TPPI itu terdiri dari sebagian tagihan PPA berupa Multi Year Bond (MYB) sekitar Rp1 triliun, sebagian tagihan Pertamina 300 juta dolar dan sebagian tagihan BP Migas 100 juta dolar.
Sisa tagihan Pertamina akan diselesaikan dengan instrumen standby letter of credit (SLBC) pada saat closing date, serta skema jual beli mogas untuk tagihan open account (OA).
Sedangkan, sisa tagihan BP Migas akan diselesaikan dengan instrumen SBLC dan sisa tagihan PPA tetap seperti semula yakni MYB yang diselesaikan dengan operasional "cash flow" dari PT Petro Oxo Nusantara dan PT Polytama Propindo.
Skema MRA dengan Pertamina adalah piutang "product delivery instrument" (PDI) atau "delayed payment notes" (DPN) akan dilunasi seluruhnya yakni pokok dan bunga senilai 400 juta dolar AS.
Caranya, pembayaran secara tunai senilai 300 juta dolar AS dan sisanya SBLC 100 juta dolar yang diterbitkan pada saat "closing date" MRA.
Untuk piutang OA senilai 183 juta dolar, pembayaran dilakukan dengan "letter of credit" (L/C) yang terdiri dari L/C pertama 60 juta dolar dengan jadwal pembayaran selama lima tahun pertama yang diterbitkan saat "closing" MRA sebesar 100 juta dolar dan L/C kedua sebesar sisa "outstanding" OA beserta bunganya untuk lima tahun kedua yang diterbitkan sebelum akhir tahun kelima.
Apabila L/C kedua tidak terbit, maka Pertamina masih mempunyai jaminan pembayaran OA melalui "offsetting" dengan pembayaran atas pembelian mogas dan "offsetting" dengan pembayaran atas pembelian produk lain, dan eksekusi jaminan saham milik Honggo Wendratmo atau PT Sila Kencana Lestari di PT Tuban Petrochemical Industries.
Penetapan bunga OA adalah LIBOR plus tiga persen.
(T.K007/S025)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011