Saya tidak mau dideportasi, saya tidak mau ke Afghanistan dan Pakistan lagi...Tidak masalah saya mati di sini karena setiap orang pasti akan mati"
Jember (ANTARA News) - Puluhan imigran terjebak di dalam kapal karena kapal kelebihan muatan tersebut terbalik dihantam ombak besar di perairan Pantai Prigi, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Sekitar 60 imigran meninggal dalam waktu lima menit, terjebak dalam kapal yang sudah terbalik.
"Saya masih ingat bagaimana kawan saya mengembuskan napas terakhir, dan saya tidak bisa menolongnya," tutur Mohammad Mehdi Muntaziri, seorang korban selamat dari kapal tenggelam itu.
Hidup itu petualangan. Pepatah terasa tepat untuk menggambarkan perjuangan ratusan imigran gelap asal Iran, Afghanistan dan Turki yang hendak mencari suaka dan berharap kehidupan lebih baik di Pulau Krismas, Australia. Perjalanan jauh nan penuh bahaya pun mereka tempuh untuk itu.
Sabtu pekan lalu (17/12), satu kapal yang mengangkut 200 lebih imigran gelap asal Timur Tengah terbalik dan tenggelam diterjang ombak di perairan Pantai Prigi, selagi berlayar menuju Pulau Krismas.
34 imigran yang selamat berhasil dievakuasi, lalu ditampung di Kantor Imigrasi Blitar untuk diidentifikasi. Namun ratusan lainnya terempas gelombang laut jauh hingga ke Jember dan Banyuwangi, bahkan Bali.
13 dari 34 orang selamat itu ditolong oleh awak kapal perahu tongkang bermuatan batubara saat melintas di Pulau Nusa Barong, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Senin (19/12), dan Mohammad Mehdi Muntaziri (16) adalah salah satunya. Mehdi terluka, lecet, dan mengalami dehidrasi.
Kepada ANTARA, pemuda kelahiran Afganistan tahun 1995 itu dengan tenang menceritakan perjalanannya bersama 200 lebih imigran asal Timur Tengah ke Pulau Christmas di Australia.
"Sejak usia lima tahun saya pindah ke Pakistan bersama keluarga dan tumbuh besar di sana karena ingin hidup yang lebih baik. Namun di Pakistan sama saja," tutur Mehdi.
Ia mengaku orang Syiah, sekaligus etnis Kurdi yang minoritas di Timur Tengah. Dia dan saudara-saudara sekaumnya kerap mengalami kekerasan. Mereka lalu nekad mengarungi Samudera Hindia menuju Australia. Mereka ingin menikmati kehidupan yang lebih baik.
"Bagi saya, tidak ada kehidupan di Afghanistan dan Pakistan. Saat saya keluar rumah, tidak ada jaminan saya bisa kembali ke rumah dengan selamat karena perang di sana sini. Orang tua saya meninggal karena ledakan bom," katanya sambil menundukkan kepala.
Keinginannya itu diketahui seorang agen atau calo yang biasa memberangkatkan warga Timur Tengah ke Australia. Namanya Ali Panjabi. Namun Mehdi tak pernah bertemu dengan si calon.
"Saya hanya dihubungi melalui telepon dan diminta membayar sebesar 4 ribu dolar Amerika Serikat, bahkan ada imigran yang diminta membayar 6 ribu dolar AS kepada agen," ucap pemuda yang bisa berbahasa Inggris dan Indonesia itu.
Mehdi meninggalkan Pakistan pada Januari 2011 menuju Malaysia dengan menggunakan pesawat komersial. Dia sempat dua kali bermalam di Kuching, Sarawak, Malaysia. Kemudian naik feri menuju hutan. Dilanjutkan, berjalan sekitar dua jam, untuk menaiki kapal ke Pontianak, kemudian menyeberang ke Semarang.
Dari Semarang, Mehdi bersama sejumlah imigran menggunakan bus menuju Jakarta dan singgah di Kantor Regional UNHCR di Jakarta untuk proses registrasi pengungsi dari daerah konflik.
"Saya sempat tinggal di Jakarta sejak Februari 2011 dan berpacaran dengan warga di sana yang mengajari saya bahasa Indonesia," ungkapnya polos.
Selama beberapa bulan di Indonesia, pemuda ini bolak-balik Jakarta-Bogor untuk persiapan ke Pulau Krismas, sesuai janji Ali Punjabi si agen.
Dihantam gelombang
Kamis pekan lalu (15/12), Mehdi berangkat dari Jakarta menuju Surabaya dengan menggunakan bus. Hari berikutnya ia dikumpulkan bersama imigran gelap lainnya di sebuah kapal berlantai tiga. Kapal itu sudah penuh sesak.
"Saya kaget tiba-tiba di dalam kapal sudah ada sekitar 200 lebih imigran asal Timteng lainnya, padahal kalau melihat kapasitas kapal seharusnya memuat 50 penumpang saja," katanya. Kapal itu berangkat dari Surabaya Jumat sore.
Setelah enam jam perjalanan di laut, kapal dihantam ombak besar, lalu segera terbalik. Ratusan imigran yang diantaranya memuat anak-anak dan ibu-ibu asal Timur Tengah itu, panik. Dalam waktu hanya lima menit, orang-orang itu ditenggelamkan oleh kapal terbalik tersebut.
"Saya masih ingat saat itu banyak imigran yang berteriak minta tolong dan tidak bisa menyelamatkan diri," tuturnya.
Mehdi sendiri merasa sudah mati di tengah empasan ombak, namun ia melihat satu celah yang hanya bisa dilalui satu orang dan berusaha untuk keluar dari kapal yang terbalik tersebut.
"Alhamdulillah, Allah masih memberikan saya hidup, sehingga saya bersama imigran lainnya berusaha menggapai badan kapal yang terbalik, agar bisa berada di permukaan," kenangnya.
Menurutnya, kapal itu memuat sekitar 30 anak-anak, 30 perempuan dewasa, 20 orang tua, namun sebagian besar adalah pemuda berusia 16-30 tahun.
"Perjuangan imigran untuk tetap menyelamatkan diri tidak mudah. Kami harus berenang dan mencapai badan kapal untuk tetap bisa mengapung di laut. Saat diterjang ombak dan kapal terbalik lagi, kami terlempar dan berenang lagi. Begitu seterusnya," tuturnya.
Mehdi dan puluhan lainnya terapung di laut selama empat hari tiga malam. "Banyak imigran yang meninggal di samping saya karena mereka tidak kuat lagi untuk bertahan di tengah ganasnya gelombang laut. Saya tidak kuasa melihat anak-anak yang meninggal terapung di sekitar saya," tuturnya, sedih.
Sebenarnya ada 35 orang, termasuk Mehdi, bisa menyelamatkan diri ke Pulau Nusa Barong di Jember, namun sebagian anak-anak dan perempuan meninggal karena dehidrasi dan terlalu banyak minum air laut.
Mehdi dan kawan-kawannya lalu melihat satu kapal besar yang melewati perairan tersebut. Awak kapal tongkang bermuatan batubara itu lalu menyelamatkan mereka. 13 imigran selamat dibawa ke kantor Kecamatan Puger untuk diberi pertolongan pertama, delapan diantaranya dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara, Lumajang, karena dehidrasi akut, lima lainnya ditampung sementara di Hotel Sulawesi, Jember.
Rabu (21/12), kedelapan imigran di RS Bhayangkara dikumpulkan di Hotel Sulawesi untuk mempermudahkan proses identifikasi oleh pihak imigrasi setempat.
Menolak dipulangkan
Mehdi dan semua yang selamat itu menolak dipulangkan ke negara asalnya yang penuh konflik. "Saya tidak mau dideportasi, saya tidak mau ke Afghanistan dan Pakistan lagi. Di sana tidak ada kehidupan yang lebih baik," kata Mehdi.
Ia bahkan rela memilih mati di perjalanan ke Australia daripada kembali ke Afghanistan yang tidak bisa memberi kehidupan yang lebih baik kepada kaum minoritas seperti mereka.
"Kalau kembali ke Pakistan atau Afghanistan, saya juga akan mati karena kedua orang tua saya menjadi korban perang. Tidak masalah saya mati di sini karena setiap orang pasti akan mati, namun saya berusaha untuk hidup lebih baik," katanya.
Mehdi sudah bulat untuk pergi ke Australia, dan cara apapun akan ditempuhnya, asal bisa sampai di Australia.
Hal senada disampaikan Said Qasim (23), imigran asal Afghanistan lainnya yang sempat dirawat di RS Bhayangkara, Lumajang. Qasim tetap ingin ke Australia meski di sana dia bekerja sebagai pegawai rendahan. "Perjuangan saya untuk hidup lebih baik di Australia masih belum berakhir," tuturnya.
Sama dengan Mehdi, dia siap mati di perjalanan, ketimbang harus kembali ke Afghanistan.
LSM internasional, International Organization for Migration (IOM) mencatat, dari 200 lebih imigran gelap menjadi korban kapal tenggelam di perairan Pantai Prigi itu. Yang selamat ada 47 orang, dengan rincian 34 imigran di Blitar dan 13 lainnya di Kantor Imigrasi Jember.
IOM memperkirakan yang selamat dari tragedi itu tak bertambah. "Kemungkinan yang hidup sekitar itu karena kabarnya di Banyuwangi ditemukan puluhan jenazah imigran," ucap Hanif, perwakilan IOM.
Hingga Rabu malam lalu, di perairan Kabupaten Banyuwangi sudah ditemukan 66 jenazah imigran oleh tim SAR gabungan dan nelayan setempat. 22 jenazah diantaranya baru ditemukan Rabu malam itu di sekitar perairan Pantai Plengkung, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi.
"Sebanyak 44 jenazah langsung dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara, Surabaya untuk proses identifikasi karena sebagian mayat sudah rusak karena terapung di laut sekitar lima hari," kata Kapolres Banyuwangi Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Nanang Masbudi.
Tim SAR gabungan terus mencari sisa jenazah korban kapal tenggelam itu.
Menyangkut puluhan imigran yang selamat itu, wakil IOM telah mengunjunginya.
IOM akan berkoordinasi dengan UNHCR di Jakarta karena UNHCR-lah yang berwenang menentukan nasib imigran itu, apakah bisa mereka dibawa ke Australia. Soal ini sendiri membutuhkan proses panjang karena harus disetujui Australia.
Yang pasti, harapan ratusan imigran gelap asal Timur Tengan untuk hidup lebih baik di negeri orang harus dibayar mahal oleh hilangnya ratusan nyawa.
Kita mesti mencegah tragedi tak terulang di kemudian hari karena kecelakaan itu terjadi di wilayah Indonesia dan karena arus pengungsian warga asing ke Australia sulit berhenti mengingat kehidupan di beberapa negara di Timur Tengah kian sulit dan membahayakan.
ANT/C004/Z002
Oleh Zumrotun Solicha
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011