Dalam siaran pers APSyFI yang diterima ANTARA Jakarta, Kamis, disebutkan pula bahwa impor benang filamen polyester juga naik 24 persen atau 52.000 ton dari total konsumsi 499.000 ton.
Sekretaris Jenderal Asosiasi APSyFI Redma Gita Wiraswasta mengatakan, sebagian besar impor serat polyester berasal dari China.
Redma juga mengatakan bahwa ada indikasi dumping pada sebagian serat polyester impor dari China.
Indikasi itu, ia menjelaskan, terlihat dari harga serat impor asal China yang lebih rendah dari harga serat produksi dalam negeri.
Padahal, lanjut dia, biaya produksi di Indonesia dan China sebenarnya tidak jauh berbeda, yang membedakan hanya biaya bahan baku.
Industri di China mengimpor sebagian bahan baku dari negara lain, jadi, menurut dia, ongkos produksinya akan lebih mahal karena ada tambahan biaya untuk bea masuk dan transportasi.
"Kalau mereka jual ke Indonesia dengan harga lebih murah setelah ditambah biaya-biaya itu kan aneh. Pasti harganya dumping," katanya.
Proyeksi Konsumsi
Redma menjelaskan, tahun ini total konsumsi serat diperkirakan 1,33 juta ton dan konsumsi serat polyester mencapai 593.000 ton.
"Konsumsi per kapita tahun depan diperkirakan bisa mencapai 6,5 persen sehingga secara total konsumsi masyarakat bisa naik delapan persen," katanya.
Sementara produksi serat dan benang polyester tahun ini tidak banyak berubah masing-masing 535.000 ton dan 670.000 ton.(M035/Z002)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011