Kairo (ANTARA News) - Bentrokan lima hari di Kairo antara pemrotes yang menentang penguasa militer dan pasukan keamanan menewaskan 17 orang, kata kementerian kesehatan, Kamis.
Jumlah kematian meningkat Kamis setelah dua orang tewas akibat luka-luka mereka, kata pejabat kementerian itu Hisham Shiha di televisi pemerintah, lapor AFP.
Shiha mengatakan, 46 orang masih berada di sejumlah rumah sakit kementerian dan beberapa orang lagi dirawat di fasilitas-fasilitas militer.
Bentrokan meletus pada 16 Desember antara pasukan keamanan dan demonstran yang berkemah sejak akhir November di pusat pemerintahan kota Kairo.
Para aktivis menentang pemilihan perdana menteri Kamal al-Ganzouri, yang pernah memegang jabatan tersebut selama pemerintahan Hosni Mubarak.
Aktivis menyerukan pawai massal pada Jumat, dengan menyebutnya sebagai "Jumat Pemulihan Kehormatan" untuk menuntut militer menangkap para prajurit yang bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan selama bentrokan, yang menyulut kecaman internasional.
Rakyat Mesir pergi ke tempat-tempat pemungutan suara Kamis untuk memberikan pilihan mereka dalam pemilu parlemen pada tahap kedua -- pesta demokrasi yang dibayang-bayangi kematian sejumlah orang dalam protes.
Mesir dilanda pergolakan anti-pemerintah sejak 25 Januari.
Buntut dari demonstrasi mematikan selama lebih dari dua pekan di negara itu, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari setelah berkuasa 30 tahun dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, sebuah badan yang mencakup sekitar 20 jendral yang sebagian besar tidak dikenal umum sebelum pemberontakan yang menjatuhkan pemimpin Mesir itu.
Sampai pemilu dilaksanakan, dewan militer Mesir menjadi badan eksekutif negara, yang mengawasi pemerintah sementara yang dipimpin perdana menteri.
Pergolakan di Mesir itu merupakan buntut dari demam demokrasi di Tunisia. Demonstran juga menjatuhkan kekuasaan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari.
Ben Ali meninggalkan negaranya pertengahan Januari setelah berkuasa 23 tahun di tengah tuntutan yang meningkat agar ia mengundurkan diri meski ia telah menyatakan tidak akan mengupayakan perpanjangan masa jabatan setelah 2014. Ia dikabarkan berada di Arab Saudi.
Ia dan istrinya serta anggota-anggota lain keluarganya menjadi buronan dan Tunisia telah meminta bantuan Interpol untuk menangkap mereka. (M014)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011