Jakarta (ANTARA) - Setengah abad yang lalu, sekelompok peneliti dari Massachusets Institute Of Technology (MIT) memberi peringatan pada dunia tentang bahaya besar yang mengintai.

Peringatan dari peneliti MIT yang tertuang dalam buku berjudul The Limits to Growth (1972) itu ditujukan untuk membatasi upaya tanpa lelah yang dilakukan negara-negara industri besar dalam mengejar pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

The Limits to Growth memproyeksikan kemunduran dunia modern yang mencapai puncaknya pada tahun 2040-an terlebih bila kegiatan industri masih menggunakan cara lama (Business as Usual).

Eksploitasi besar-besaran, peningkatan konsumsi tanpa kendali, hasil industri dan dampak polusi, tidak disangkal berkontribusi terhadap kelangkaan pangan, krisis energi serta ancaman perubahan iklim di masa depan.

Beberapa skenario tentang ancaman besar di masa depan dalam telaah MIT dielaborasi oleh Gaya Herrington dalam Journal of Industrial Ecology pada Tahun 2020.

Gaya Herrington memperluas cakupan analisa dan riset yang diperkuat dengan data teraktual. Ia menilai bila tidak ada prioritas global dalam mengubah cara menggerakkan ekonomi dunia, maka manusia akan berada dalam jalur keruntuhannya.

Herrington menyinggung dan mendalami dua skenario penting yang dianggap relevan sebagai jalan keluar menghadapi krisis di masa depan, di antaranya, seperti konsep Comprehensive Technology (CT), dimana kemajuan teknologi membantu mengurangi polusi dan meningkatkan persediaan makanan, bahkan ketika sumber daya alam habis.

Skenario lainnya ialah konsep Stabilized World (SW) yang menegaskan pentingnya penurunan standar hasil industri dan konsumsi sampai unit paling kecil (keluarga). Itu semua dilakukan berdasarkan kesadaran sebelum keadaan memaksa untuk mewajibkannya.

Mendalami dan menyajikan data terkait konsep CT dan SW, tidaklah cukup untuk disuguhkan dalam artikel singkat ini.

Mengingat banyaknya variabel potensial yang saling terhubung, mulai dari pemanfaatan sumber daya alam, investasi dalam bidang ilmu pengetahuan, upaya menghadirkan teknologi bersih dan kebijakan terintegrasi jangka panjang antarnegara di dunia.

Barangkali yang menjadi poin terpenting dari konsep-konsep tersebut ialah adanya penekanan terhadap pergeseran nilai yang menurut Herrington, sebagai komitmen yang tidak bisa ditawar. Pergeseran nilai dimaksud bisa bermakna luas.

Herrington dan para peniliti MIT yang menyusun The Limits to Growth (1972) mungkin ingin mengatakan secara terbuka bahwa budaya “melampiaskan” sebagai ciri yang melekat dalam perindustrian modern harus segera diganti dengan budaya “pengendalian” global.

Mengubah paradigma dari kebiasaan melampiaskan menuju budaya untuk menahan dan mengendalikan ialah perjalanan spiritual. Itu adalah puasa.

Dalam konteks ini bisa kita istilahkan ini sebagai "puasa global". Tetapi bisakah dunia berpuasa untuk mengambil jarak dari kecanduan penambangan keuntungan industri yang telah berlangsung berabad-abad lamanya?


Kans berpuasa

Sederhananya bila dunia yakin penurunan hasil industri dan konsumsi sebagai problem yang tidak terlalu mengerikan dibanding ancaman perubahan iklim dan kelangkaan pangan, maka dunia punya kans untuk berpuasa. Sulitnya adalah masalah konsumerisme sendiri, yang sebenarnya bersifat sangat akut, struktural dan bersifat luas, yang mencakup skala negara hingga menyentuh skala terkecil unit keluarga.

Sekarang ini tidak ada satu negara dan satu unit keluarga di dunia ini yang betul-betul mempunyai cita-cita ideal, selain melayani kebutuhan konsumsi dan menumpuk kekayaan.

Setiap individu habis-habisan mencari ilmu atau mengejar jabatan yang muaranya hanya untuk kaya dan berkuasa. Dalam lingkup yang lebih besar, semua negara berlomba mengejar titel negara maju yang dicitrakan oleh kekayaan ekonomi dan juga pengaruh politiknya (berkuasa).

Mereka mengejar cita-cita kemajuan yang parameternya kejayaan materil. Meskipun ada anggapan bahwa kemajuan ekonomi berkorelasi nyata terhadap kesejahteraan masyarakatnya, sehingga dapat menciptakan masyarakat yang teratur, tetapi kekayaan dan keteraturan yang direngkuh dunia barat jangan membuat kita menerjemahkannya sebagai kemajuan peradaban yang bersifat final.

Terlebih bila kemesraan sosial di negara-negara maju tergerus oleh kesibukan setiap warganya dalam "mencangkul" (terfokus mengejar materi). Keadaan demikian membuat komunitas tidak lagi memiliki kepekaan satu sama lain.

Kita juga tidak akan menjumpai sapaan mesra antartetangga, atau kendurian massal yang mengetengahkan tema keagamaan dan kemanusiaan.

Ruang interaksi semacam itu jangan diharapkan ada di tengah arus pengabdian komunitasnya yang hanya berfokus pada hasrat untuk mengejar cita-cita materil (mencangkul). Suatu cita-cita yang tidak hanya dilakukan di dalam lingkup keluarga, melainkan juga meluas pada lingkup negara.

Pengerukan sumber daya untuk menopang industri, merupakan ciri dari ketiadaan kontrol terhadap ambisi yang tidak terkendali.


Tidak berdiri sendiri

Kita juga harus melihat kemajuan yang direngkuh negara-negara barat sebagai sesuatu yang tidak berdiri secara utuh di atas kreativitas dan ketekunan warga bangsanya. Melainkan terdapat hubungan historis yang tidak terputus dari perilaku sebagian besar bangsa barat, terutama yang merujuk pada tindakan kolonialisasi (perampokan) yang pernah mereka lakukan di masa lalu.

Perampokan global semacam itu tidaklah hilang, tetapi berubah wujud melalui eksploitasi dan penetrasi ekonomi di bawah penekanan terhadap sistem dan kebenaran versi barat.

Ini memperlihatkan bahwa dunia barat bukan hanya tidak cukup mampu untuk menanggulangi ancaman perubahan iklim, tetapi juga tidak cukup mampu untuk mengendalikan ambisi eksploitasi demi kepentingan industrinya.

Sehingga kita sampai pada kesimpulan sementara bahwa negara barat, khususnya dan negara industri besar pada umumnya, mungkin belum cukup mampu untuk diajak menjalani "puasa global". Sebab bila mereka mampu, tidak mungkin rasanya bila Konferensi COP-26 di Skotlandia tahun lalu menuai banyak kritik.

Kritik yang disebabkan oleh tidak adanya rencana ambisius dari sejumlah negara besar untuk mengurangi emisi karbon dan menihilkan penggunaan bahan bakar (batu bara) yang menjadi kontributor utama ancaman perubahan iklim.

Barangkali inilah momentum yang tepat bagi Indonesia yang sedang memegang keketuaan (presidensi) G20 untuk mengajak dunia dalam memprioritaskan rencana kebijakan dengan skala multigenerasi, yakni suatu kebijakan yang didasari komitmen untuk mendesain kehidupan bagi generasi berikutnya yang lebih stabil dan bersahabat.

Sebagai negara mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia jelas mengenal bagaimana konsep puasa tidak hanya diaktualisasikan dalam skala personal, melainkan juga dapat diterapkan dalam skala yang lebih luas.

Puasa sebenarnya antitesa dari seluruh kegiatan manusia dan negara industri maju agar tidak hanya mengenal budaya untuk melampiaskan (eksploitasi), melainkan juga mengenal bagaimana menerapkan budaya menahan dan mengendalikan (sumber daya), demi kepentingan jangka panjang.

*) Hasan Sadeli adalah mantan aktivis PMII, lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia

Copyright © ANTARA 2022